;

Ratusan Hektar Sawah ”Food Estate” Tak Bisa Ditanami

Ekonomi Yoga 10 Oct 2022 Kompas
Ratusan Hektar Sawah ”Food Estate” Tak Bisa Ditanami

Peladang di Kalteng yang mengikuti program strategis nasional lumbung pangan atau food estate di Kabupaten Pulang Pisau butuh didampingi. Sebab, bertani di sawah merupakan pengalaman baru dalam kehidupan pertanian mereka. Apalagi, di beberapa lokasi, ada ratusan hektar (ha) lahan cetak sawah yang sudah satu tahun ini belum bisa ditanami padi karena akses yang belum mendukung dan terendam banjir. Dari penelusuran di lapangan, setidaknya di dua desa di Kabupaten Pulang Pisau, yang merupakan wilayah dilaksanakannya program ekstensifikasi atau cetak sawah baru, lahan-lahan sawah food estate belum optimal dikelola masyarakat, yaitu Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya dan Desa Mulya Sari, Kecamatan Pandih Batu. Di Desa Pilang, ladang-ladang masyarakat Dayak yang selama delapan tahun tak lagi dikelola berubah menjadi sawah. Ladang yang sudah menjadi hutan dengan ratusan bahkan ribuan tegakan pohon berubah menjadi hamparan sawah dengan pematang-pematang sawah yang masih dipenuhi batang-batang pohon yang rebah. Beberapa peladang bahkan sudah membuat pondok-pondok di kawasan tersebut untuk tempat tinggal. Mereka yang sudah delapan tahun lebih cukup senang dengan kehadiran food estate di desanya yang membuat mereka kembali berladang.

Namun, masalah baru muncul. Pola tanam yang tidak seragam membuat padi-padi yang sudah berumur 95 hari diserang hama. Mereka harus membeli pestisida untuk menyemprot hama, lalu membuat jaring, serta menjaga padi itu siang dan malam. Emek (65), salah satu peladang tradisional Dayak di Desa Pilang, mengaku baru pertama kali bertani di tanah sawah. Selama ia hidup ia hanya berladang dengan cara tebas bakar dan menanam benih padi lokal yang jumlahnya ada 19. Kini, karena sudah tidak pernah berladang karena larangan membakar, Emek kehilangan benih lokal di rumahnya. Semuanya habis digiling untuk makan. Emek kini harus menanam padi di sawah. ”Awalnya diberi bantuan kapur, pupuk, dan benih, tetapi bantuannya datang terlalu cepat, jadi benihnya sudah tidak bisa dipakai. Terpaksa saya beli benih baru,” tuturnya. Emek merupakan salah satu anggota kelompok tani yang tetap nekat menanam. Padinya pun berbeda-beda di satu petak, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada yang berdaun agak lebar, ada juga yang berdaun tajam. Hal itu terjadi bukan karena waktu tanam yang berbeda, melainkan ia menanam berbagai jenis padi, sama seperti yang ia lakukan dulu.

Kepala Desa Pilang Rusdi. belum bisa menanam padi karena lahannya bahkan belum dibuka dan masih berupa hutan. Ia menjelaskan, masih ada kelompok tani lain yang juga belum mulai menanam karena belum ada jalan akses masuk ke awahnya yang berada di pinggir Sungai Kahayan. ”Baru 10 % saja yang menanam, bukan berarti gagal, kami jangan ditinggalkan. Ini hal baru, seharusnya pendampingan bisa lebih intensif karena saya yakin lima tahun saja hasilnya akan luar biasa,” kata Rusdi. Rusdi menjelaskan, di desanya terdapat 1.060 ha ladang yang berubah menjadi sawah. Sawah itu dibagikan kepada 17 kelompok tani dengan ukuran paling kecil 30 ha atau 30 kali ukuran lapangan sepak bola. Sedang di Desa Mulya Sari. Lahan yang sudah jadi sawah tak bisa ditanami karena dalam dua tahun terakhir direndam banjir pasang surut. Ketua Gabungan Kelompok Tani Mulya Sari, Sukirno, mengatakan, banjir terjadi tidak hanya karena intensitas hujan, tetapi juga karena saluran irigasi masih menggunakan saluran irigasi 25 tahun lalu yang sudah tak bisa lagi digunakan. Air itu dalamnya sampai 50 cm, kami kerahkan sembilan hand tractor, tapi tenggelam ke bawah tanah karena direndam air selama lebih kurang dua tahun sejak dibuka,” kata Sukirno. (Yoga)


Download Aplikasi Labirin :