;

Kejaksaan Agung Mengungkap Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah

Kejaksaan Agung Mengungkap Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
SETELAH Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi tata kelola minyak mentah, mekanisme penyediaan komoditas ini menjadi sorotan. Pasalnya, penyidik menemukan beberapa pemufakatan jahat antara subholding PT Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang merugikan negara setidaknya Rp 193,7 triliun. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 18 Tahun 2021, Pertamina wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah Indonesia. Aturan tersebut juga mengharuskan Pertamina mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi. Sebaliknya, KKKS diwajibkan menawarkan produksi minyak mentahnya ke PT Pertamina sebelum diekspor. Jika dalam penawaran itu Pertamina menolak tawaran KKKS, kontraktor baru bisa mendapatkan persetujuan ekspor.

Namun hasil penyelidikan Kejaksaan Agung menemukan adanya kongkalikong antara pejabat subholding Pertamina dan para broker. Diduga tiga direktur subholding PT Pertamina sengaja mengkondisikan dalam rapat optimasi hilir untuk menurunkan produksi kilang sehingga tidak bisa menyerap minyak bumi dalam negeri. Pertamina pun menolak menyerap minyak mentah dari KKKS. Mereka beralasan harga minyak mentah domestik tidak ekonomis dan kualitasnya tak sesuai dengan kapasitas kilang. Akibatnya, KKKS mengekspor produksi minyak mentahnya. Ini menjadi alasan PT Kilang Pertamina Indonesia mengimpor minyak mentah. Itu pula yang menjadi alasan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor bahan bakar minyak (BBM)—yang dari sisi harga lebih mahal ketimbang Pertamina mengolah minyak mentah sendiri.

"Dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah adalah harganya menjadi melangit," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, 24 Februari 2025. Kasus ini disebut sudah berlangsung sejak 2018 hingga 2023. Menurut Kejaksaan Agung, subholding Pertamina sengaja menolak produk minyak mentah dalam negeri agar KKKS mendapat persetujuan ekspor. Qohar menyebutkan Pertamina berdalih spesifikasi minyak mentah dari KKKS tidak sesuai dengan kilang. Padahal sebenarnya sudah memenuhi standar dan bisa diolah. Dengan skenario itu, KKKS meraup keuntungan besar melalui ekspor, sedangkan Pertamina justru menanggung biaya lebih tinggi akibat memilih impor. Akibatnya, harga dasar yang menjadi acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM meningkat, yang berujung pada membengkaknya anggaran subsidi atau kompensasi BBM. (Yetede)

Download Aplikasi Labirin :