;
Tags

Kuliner

( 21 )

Penjual Sei dan Daging di Kupang Bertahan walau Ekonomi Lesu

KT3 16 Jun 2025 Kompas

Di tengah melemahnya daya beli, tingkat konsumsi sei babi di Kupang, NTT, masih relatif tinggi. Bisnis peternakan hingga olahan kuliner daging babi memberi kontribusi berarti terhadap perekonomian di daerah itu. Dapur pun terus mengepul. Dua hari terakhir, Sabtu hingga Minggu (15/6), jalan menuju dapur Sei Om Bai di Kelurahan Teunbaun ramai dilalui mobil dan sepeda motor warga yang ingin menikmati sei babi, kuliner khas Pulau Timor itu. Dapur sei berada di pinggiran kota dengan kondisi jalan sebagian rusak berat. Di sana pertama kali bisnis sei dimulai 26 tahun silam, lalu menjamur ke Kota Kupang dan merambah ke beberapa kota di Indonesia. ”Karena tempat ini legendaris,” kata Yusak (45), pengunjung yang datang bersama lima anggota keluarga. Ada juga Sesil (35), warga Surabaya, Jatim, yang penasaran makan sei langsung dari dapur di Teunbaun.

Selesai makan, ia membeli beberapa kilogram untuk dibawa pulang ke Surabaya. ”Meski harus lewat jalan rusak, kami tembus ke sini,” katanya. Pemilik dapur Sei Om Bai, Gasper Tiran (55) mengatakan, di tengah kondisi ekonomi yang lesu, jumlah pengunjung tak banyak berubah. Pengunjung berasal dari berbagai kalangan. Penurunan pengunjung sedikit terlihat dari kalangan ASN yang biasa ke sana ketika jam dinas, efek penghematan anggaran birokrasi pemerintah sejak Januari 2025. Setiap hari, jumlah babi yang dipotong berkisar satu sampai dua ekor. Daging isi dan lemak, rusuk, dan jeroan dipisah lalu diasap menggunakan kayu kosambi. Gasper mempekerjakan lebih dari 30 orang, mulai dari tukang potong hewan, bagian pengasapan, pelayanan makanan, hingga pengemasan sei yang dikirim ke luar daerah. Status mereka karyawan dan tenaga lepas.

”Kami tak pernah memberhentikan mereka. Gaji disesuaikan dengan penghasilan yang didapat,” kata Gasper yang dulunya berjualan daging keliling berjalankaki dari kampung ke kampung. Di pinggiran jalan Kota Kupang juga berdiri banyak warung yang menjajakan aneka kuliner olahan daging babi, di antaranya babi bakar, babi kecap, sup babi, dan lainnya. Warung kaki lima itu selalu ramai didatangi warga untuk makan di tempat atau dibawa pulang. ”Satu malam (omzet) bisa sampai Rp 1 juta,” ujar Beatrix, pedagang olahan daging babi di Jalan WJ Lalamentik, Oepoi, Kupang.Kendati masih ramai didatangi pembeli, Beatrix mengakui, ada penurunan omzet 20 % sejak Januari 2025. Para pelanggan kebanyakan PNS yang terdampak efisiensi anggaran pemerintah. Banyak pedagang kuliner daging babi kelas kaki lima lain terpaksa menutup usaha karena berebut pasar yang sama, yakni para PNS. (Yoga)


Penjual Sei dan Daging di Kupang Bertahan walau Ekonomi Lesu

KT3 16 Jun 2025 Kompas

Di tengah melemahnya daya beli, tingkat konsumsi sei babi di Kupang, NTT, masih relatif tinggi. Bisnis peternakan hingga olahan kuliner daging babi memberi kontribusi berarti terhadap perekonomian di daerah itu. Dapur pun terus mengepul. Dua hari terakhir, Sabtu hingga Minggu (15/6), jalan menuju dapur Sei Om Bai di Kelurahan Teunbaun ramai dilalui mobil dan sepeda motor warga yang ingin menikmati sei babi, kuliner khas Pulau Timor itu. Dapur sei berada di pinggiran kota dengan kondisi jalan sebagian rusak berat. Di sana pertama kali bisnis sei dimulai 26 tahun silam, lalu menjamur ke Kota Kupang dan merambah ke beberapa kota di Indonesia. ”Karena tempat ini legendaris,” kata Yusak (45), pengunjung yang datang bersama lima anggota keluarga. Ada juga Sesil (35), warga Surabaya, Jatim, yang penasaran makan sei langsung dari dapur di Teunbaun.

Selesai makan, ia membeli beberapa kilogram untuk dibawa pulang ke Surabaya. ”Meski harus lewat jalan rusak, kami tembus ke sini,” katanya. Pemilik dapur Sei Om Bai, Gasper Tiran (55) mengatakan, di tengah kondisi ekonomi yang lesu, jumlah pengunjung tak banyak berubah. Pengunjung berasal dari berbagai kalangan. Penurunan pengunjung sedikit terlihat dari kalangan ASN yang biasa ke sana ketika jam dinas, efek penghematan anggaran birokrasi pemerintah sejak Januari 2025. Setiap hari, jumlah babi yang dipotong berkisar satu sampai dua ekor. Daging isi dan lemak, rusuk, dan jeroan dipisah lalu diasap menggunakan kayu kosambi. Gasper mempekerjakan lebih dari 30 orang, mulai dari tukang potong hewan, bagian pengasapan, pelayanan makanan, hingga pengemasan sei yang dikirim ke luar daerah. Status mereka karyawan dan tenaga lepas.

”Kami tak pernah memberhentikan mereka. Gaji disesuaikan dengan penghasilan yang didapat,” kata Gasper yang dulunya berjualan daging keliling berjalankaki dari kampung ke kampung. Di pinggiran jalan Kota Kupang juga berdiri banyak warung yang menjajakan aneka kuliner olahan daging babi, di antaranya babi bakar, babi kecap, sup babi, dan lainnya. Warung kaki lima itu selalu ramai didatangi warga untuk makan di tempat atau dibawa pulang. ”Satu malam (omzet) bisa sampai Rp 1 juta,” ujar Beatrix, pedagang olahan daging babi di Jalan WJ Lalamentik, Oepoi, Kupang.Kendati masih ramai didatangi pembeli, Beatrix mengakui, ada penurunan omzet 20 % sejak Januari 2025. Para pelanggan kebanyakan PNS yang terdampak efisiensi anggaran pemerintah. Banyak pedagang kuliner daging babi kelas kaki lima lain terpaksa menutup usaha karena berebut pasar yang sama, yakni para PNS. (Yoga)


Ellynawati Mengangkat Kuliner Seruit Lampung

KT3 02 Oct 2024 Kompas

Resep turun-temurun keluarga mengantarkan Ellynawati (57) sukses mengembangkan usaha kuliner tradisional seruit Lampung. Lewat usaha itu, ia turut memopulerkan kuliner khas setempat sekaligus memberdayakan puluhan orang. kan, rumah makan Sambal Seruit Buk Lin milik Ellynawati yang berada di Kota Bandar Lampung, Lampung, selalu dipadati pengunjung. Belasan mobil, bahkan bus, yang didominasi pelat nomor dari Sumatera Selatan, Jakarta, dan beberapa kota lain berjajar di lahan parkir restoran tersebut. Tak sedikit pula kendaraan yang rela parkir di bahu jalan raya karena lahan parkir sudah penuh. Pengunjung yang sebagian besar wisatawan dari luar kota itu sengaja mampir ke sana untuk mencicipi kenikmatan makanan tradisional Lampung itu. Sambal seruit kian populer dua tahun terakhir berkat usaha yang dirintis perempuan asli keturunan Lampung tersebut. Sesuai namanya, Sambal Seruit Buk Lin memang menyajikan menu utama sambal. 

Sambal yang disajikan dalam restoran itu merupakan sambal terasi yang terbuat dari bahan cabai rawit, cabai merah, terasi, serta tomat kecil yang sering disebut ”rampai”.Campuran bahan itu diulek dalam cobek besar dan dipadukan dengan bumbu masakan, seperti garam, penyedap rasa, dan jeruk sambal atau jeruk limau. Sambal ini disajikan dengan menu olahan ikan, seperti ikan pindang, pepes, dan ikan bakar atau goreng. Sebagai bahan pelengkap, masakan itu disajikan bersama aneka lalapan segar, sepert timun, kemangi, petai, jengkol, leunca, dan kenikir. 

Ada juga rebusan daun singkong, bayam, sawi, labu siam, dan terung.  Menu pelengkap lainnya adalah tempoyal atau daging durian yang sudah difermentasi. Jika ingin menu tambahan, ada tahu atau tempe goreng dan ayur asam. Dalam masyarakat Lampung, kata ”seruit” sendiri mengacu pada perpaduan aneka makanan sambal, olahan ikan, dan lalapan. Sementara kata ”nyeruit” mengacu pada kata kerja yang menggambarkan cara makan sambal khas masyarakat Lampung Sebelum dimakan bersama nasi, sambal terasi biasanya akan dicampur dulu dengan ikan, terung, dan serutan timun dalam sebuah piring. Perpaduan aneka bahan makanan itu kemudian diaduk menggunakan tangan sampa benar-benar menyatu. Campuan inilah yang dikenal sebagai seruit. (Yoga)

Bisakah Roti Awet Tiga Bulan

KT1 26 Jul 2024 Tempo
MASA simpan tahan roti Aoka yang mencapai tiga bulan menjadikan makanan ini primadona di pasar. Produk buatan PT Indonesia Bakery Family ini makin menarik lantaran dibalut kemasan premium, tapi hanya dibanderol Rp 2.000-4.000 per bungkus. Sebagai perbandingan, roti dengan kemasan serupa rata-rata hanya bertahan tujuh hari. Harganya pun terpaut jauh, mulai dari kisaran Rp 5.000 per bungkus. Dengan kapasitas produksi 20 ribu bungkus, produk Aoka dengan mudah menguasai pasar, khususnya di kelas harga murah.

Melihat dominasi tersebut, Paguyuban Roti dan Mie Ayam Borneo (Parimbo) berinisiatif menguji kandungan roti tersebut di laboratorium PT SGS Indonesia, bagian dari SGS Group yang merupakan perusahaan multinasional penyedia jasa laboratorium verifikasi, pengujian, inspeksi, dan sertifikasi. Berawal dari keinginan meniru strategi bisnis lawan, mereka justru menemukan bahan berbahaya dalam roti tersebut.

Menurut Ketua Parimbo Aftahuddin, sampel roti Aoka mengandung sodium dehydroacetate dalam bentuk asam dehidroasetat sebanyak 235 miligram per kilogram. Selain menguji roti Aoka, dia bersama koleganya menguji tiga merek roti sebagai pembanding. Ketiganya adalah roti Okko, My Roti, dan Sari Roti. Zat yang sama ditemukan dalam roti Okko sebanyak 345 miligram per kilogram.

Sodium dehydroacetate, yang juga dikenal dengan nama natrium dehidroasetat, merupakan zat aditif yang berfungsi sebagai bahan pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Di Indonesia, zat ini tak tertera dalam daftar bahan pengawet yang boleh digunakan untuk pangan dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan. (Yetede)

Strategi Bertahan Roti Rumahan

KT1 24 Jul 2024 Tempo
PEMBERITAAN soal roti yang diduga mengandung bahan pengawet kosmetik atau sodium dehydroacetate marak dalam beberapa hari terakhir. Pemberitaan tersebut membuat toko Roti Ganep di Solo, Jawa Tengah, berbenah. Marketing Manager Roti Ganep Emi Yoeniawati mengatakan kabar tentang roti yang diduga memakai bahan pengawet kosmetik itu tidak berpengaruh terhadap penjualan produknya. Namun Roti Ganep menyikapinya dengan mendorong peningkatan kualitas produk olahannya.

Hingga saat ini, kata Emi, Roti Ganep konsisten menjaga kualitas produk dengan menggunakan bahan-bahan baku pilihan, tanpa bahan pengawet, dan tanpa bahan kimia berbahaya. "Meskipun ada yang membeli, misalnya roti tawar, kemudian mempertanyakan, 'Baru dua hari kok sudah begini (berjamur)?' Ya, karena kami memilih tanpa bahan pengawet," ujarnya saat ditemui di toko Roti Ganep pada Selasa, 23 Juli 2024.

Emi memastikan semua produk roti dan makanan yang diproduksi Roti Ganep memiliki tanggal kedaluwarsa dan paling lama hanya tiga hari. Emi menyatakan Roti Ganep konsisten menggarap pasar lokal atau yang terdekat serta segmen pelanggan yang paham produk sehat. Karena itu, untuk mempertahankan ataupun mengembangkan pasar tersebut, pihaknya menggandeng berbagai komunitas yang paham produk sehat. (Yetede)

Kuliner Viral Penambah Denyut Pasar

KT3 16 Jun 2024 Kompas

Di era media sosial, kuliner legendaris di pasar-pasar tradisional Yogyakarta Berjaya berkat fenomena viral. Hubungan transaksional antara penjual dan pembeli menjadi lebih beraneka ragam. Denyut pasar pun terus hidup, tanpa putus. Bu Sirep (75) sibuk menggarit tumpukan tempe untuk digoreng di depan warung makannya di Pasar Ngasem, Yogyakarta, Sabtu (8/6). Jam menunjukkan pukul 07.30, tapi antrean pembeli terus mengular panjang. Puluhan orang yang kelaparan tidak sabar menyendokkan bubur atau nasi hangat beserta lauk pilihan ke piring untuk sarapan. ”Saya tidak kebayang warung saya akan seramai ini, mikirnya santai gitu. Dulu memang saya minta sama Allah agar warung saya laris, tapi maksudnya yang biasa-biasa aja, enggak seperti ini,” kata Sirep dengan wajah bahagia. Warung Makan Bu Sirep merupakan salah satu tujuan wisata kuliner untuk sarapan yang populer di kota pelajar ini. Tersedia lebih dari 30 menu masakan tradisional Jawa, mulai dari ayam goreng, lele mangut, tempe gembus, hingga berbagai macam sayur.

Selain lezat, harga makanannya murah meriah. Menu termurah seharga Rp 10.000. Sirep sudah berjualan di sana sejak 2011. Dulu ia cukup memasak 10 kg beras sehari, sekarang ia membutuhkan sekitar 30-40 kg beras sehari. Bahkan, 50 kg sehari saat akhir pekan. Soalnya, bukan hanya warga lokal saja yang datang, tetapi juga wisatawan luar daerah. Titik puncak keramaian baru terasa tiga tahun belakangan ini. Dia sampai bingung sendiri kenapa hal ini bisa terjadi. ”Pembeli-pembeli ada yang ngasih tahu kalau tahu warung dari Tiktok. Katanya viral dan sampai sekarang juga banyak yang sering datang rekam,” tutur Sirep yang mempekerjakan 10 orang untuk membantunya. Setelah doa Sirep terjawab, rezekinya bertambah. Dalam sebulan, ibu empat anak ini mampu meraup keuntungan bersih sedikitnya Rp 10 juta setiap bulan. Setimpal dengan pengorbanannya yang harus bangun pukul 02.00 setiap hari untuk memasak.

Viralnya warung Bu Sirep di medsos masih terasa sekarang. Setiawati (48), warga Yogyakarta, untuk kali pertama menginjakkan kaki di Pasar Ngasem pagi itu demi menyantap bubur yang dia lihat di Tiktok beberapa bulan lalu. ”Saya penasaran yang mana sih warungnya. Ternyata rasanya enak karena saya juga senang bubur dan masakan Jawa,” kata Wati bersemangat. Medsos membuat relasi timbal balik antara penjual dan pembeli semakin bervariasi. Penjual dan pembeli di masa lalu hanya bertransaksi dalam bentuk penukaran makanan dan uang. Sekarang, penjual mendapat keuntungan promosi di medsos pembeli, sedang pembeli menggunakan penjual dan makanan untuk kebutuhan konten. Kadis Perdagangan Kota Yogyakarta, Veronica Ambar Ismuwardani mengatakan, kuliner legendaris di pasar tradisional berkontribusi besar pada keberlangsungan pasar. Hampir setiap pasar di Yogyakarta punya kuliner tradisional. (Yoga)


Memboyong Kampung Halaman untuk Kaum Urban

KT3 16 Jun 2024 Kompas

Hidangan tradisional yang diusung untuk dinikmati kaum urban semakin menjadi tren di kota besar. Aneka makanan yang menggoda selera terhidang di atas nampan bercorak retro. Ayam bakar, pepes ikan mas, pecel pincuk, mi goreng jawa, dan sate kulit hanya sekelumit hidangan di Omah Yung Ginah. Sejumlah pengunjung mengantre dan membayar dengan tertib, lalu duduk dengan santai di bangku lawas yang dilengkapi meja kayu kuno. Pegawai berpakaian lurik dipadu celana hitam sigap membereskan piring kotor, menyingkirkan sampah, hingga berbincang dengan konsumen. Bangunan joglo menguarkan nuansa tradisional dengan kayu jatinya. Sajian pun bertambah nikmat dinaungi keteduhan pohon abar,wali songo, dan beringin kuning. Mangut lele, sungguh lezat dengan rasa asap yang mencolok karena begitu meresap.

Ikan itu ditusuk batang kayu dengan daging renyah, tetapi lembut yang spontan lumat saat dikunyah. Kuah sedikit manis tercecap mantap dengan selintas asam dan paduan pedas. Masakan itu bertambah sedap dengan sambal terong. Ditambah taburan teri yang menambah gurih, asin, dan pedas dengan klop. Sementara itu, garang asem ati ampela dibungkus daun pisang tak kalah nikmat. Andalan Omah Yung Ginah lain, telur krispi, tergigit renyah dan gurih. Sekejap bumbu balado, maizena, dan garam terjejak pula dalam indera pengecap. Di Omah Yung Ginah tersedia sekitar 15 makanan. Harga setiap porsi mangut lele Rp 25.000, telur krispi Rp 13.000, dan garang asem hati ampela Rp 14.000. Konsumen bisa memilih 10 minuman. Es dawet yang difavoritkan dibanderol Rp 15.000 per porsi.

Omah Yung Ginah dikunjungi 400 pengunjung pada hari kerja, dan membeludak hingga 900 pengunjung pada akhir pekan. ”Lokasinya di Rumpin, Bogor (Jabar). Bisa dibilang juga di Cisauk, Tangerang, (Banten),” ujar Manajer Omah Yung Ginah, M Nur Qudsi, Rabu (12/6/2024). Luas OmahYung Ginah 3.000 meter persegi dengan pelataran parkir yang mampu menampung 100 mobil dan 40 sepeda motor. Tujuan wisata kuliner itu baru dibuka setahun lalu, tetapi sudah sangat ramai. Omah Yung Ginah menyajikan masakan khas Kediri. ”Pemiliknya, Roby Sugiarto, suatu hari kangen masakan mendiang neneknya, Ginah,” kata Kukut, sapaannya. Jadilah hidangan itu dibawa Roby sebagai menu Omah Yung Ginah. Tak hanya makanannya yang dibawa, juga nuansa bangunan tradisional jawanya. Bahan baku bangunan pun didatangkan dari Kediri. Keorisinilan kuliner kampung halaman diboyong pemilik rumah makan untuk kaum urban yang menambah khazanah mereka dengan mencicipinya. (Yoga)


Resep Antipikun ala Oma-Opa di Kancah Kuliner

KT3 03 Jun 2024 Kompas

Tidak semua lansia bekerja dengan banting tulang. Ada yang menemukan kebahagiaan di tempat kerja di tengah beban kerja yang tidak terlalu berat. Salah satunya, Tjen (82) pengelola kedai Laksa Lao Hoe. Sembari ngobrol, ia bolak-balik dari dapur melewati deretan meja makan untuk pelanggan. Begitu dia menggoreng di serambi depan kedainya, aroma sedap menyeruak, menggoda pejalan kaki yang berlalu lalang untuk mampir sejenak. Di belakangnya, Linda (76) sang istri, membereskan meja makan dan merapikan kursi yang baru ditinggalkan pelanggan. Sejak 1980 hingga saat ini, Linda menjadi koki di rumah makan yang berada di Jalan Pancoran I, Glodok, Jakbar. Ada tiga masakan utama yang dijajakan, yakni laksa Bogor, bakmi Belitung, serta nasi uduk dan ayam goreng.

Nama ”Lao Hoe” lahir dari salah satu pelanggan, yang berarti ’orang tua’. Sejak itu, rumah makan ini makin terkenal, orang-orang mulai mengenalnya,” kata Linda, Rabu (24/4). Santapan yang ditawarkan berasal dari resep turun-temurun. Bumbu-bumbu laksa diracik ibunya dari Bogor, Jabar. Mertuanya mengajarkan cara membuat bakmi Belitung. Resep nasi uduk datang dari mertua adiknya, Yulia (71) dari Subang, Jabar. Ketika semangkuk laksa tersaji di atas meja, mata terpikat kuahnya yang kuning cerah bertabur bawang goreng, ayam suwir, dan daun kemangi. Toge dan telur rebus ikut menyembul meramaikan suasana. Rasanya gurih dan asam segar meskipun tidak menggunakan perasan jeruk nipis dengan harga Rp 30.000 per porsi.

Rahasia laksa ini terletak pada temu mangga (Curcuma amada). Tak heran, saat dihidangkan, wangi laksa yang tercium menyerupai kunyit dan menggugah selera. Sejak pukul 03.30, dia sudah mulai memasak karena rumah makannya buka pukul 07.00. Rumah makannya digandrungi saat sarapan dan makan siang. Setelah tutup pukul 16.00, dia menyiapkan bahan-bahan untuk esok harinya. Rutinitas itu menyenangkan baginya. ”Kalau ramai, hati terasa senang dan ongkos (berjualan) tertutup. Yang paling saya suka, banyak ngobrol dengan tamu. Keuntungan dari kedai dimanfaatkan untuk membiayai hobi keempat orang usia lanjut, termasuk Yulia dan Yetty (81) sang kakak, yang mengelola setelah dikurangi biaya operasional dan upah bagi dua asisten. Dia mengaku rumah makannya rata-rata menjual 20 porsi per hari. (Yoga)


Simpul Lokal-Global Produk Berbasis Budaya

KT3 30 May 2024 Kompas

Sejumlah industri produk berbasis budaya Indonesia terus bergerak merajut simpul lokal-global. Wastra merajut simpul dengan pelajar diaspora, sedangkan pangan atau kuliner dengan chef atau koki. Beberapa produk berbasis budaya telah diakui sebagai warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) seperti batik, wayang, keris, angklung, noken, rendang, nasi goreng, jamu, lumpia, dan tempe. Selain itu, banyak produk khas Indonesia yang berlabel indikasi geografis, label yang menunjukkan daerah asal sebuah produk yang mencerminkan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu.

Berdasarkan data Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, pada 2023, Indonesia memiliki 148 produk indikasi geografis, di antaranya songket silungkang, batik tulis nitik, tenun doyo, tenun ikay ngada, hingga genteng sokka. Gerakan-gerakan membumikan dan mempromosikan produk-produk berbasis buda-ya Nusantara itu semakin marak, baik secara mandiri maupun kolaborasi para pemangku kepentingan terkait. Pemilik Kekean Wastra Gallery Achmad Nurhasim, yang kerap disapa Aam, mampu membawa sejumlah kain Nusantara ke kancah dunia. Produk wastra yang dikembangkan Aam bernapaskan tekstil berkelanjutan. Konsep berkelanjutan produk itu tidak hanya sebatas menggunakan pewarna kain berbahan alami.

Ia memakai bahan baku 100 % lokal, menggunakan air secara terukur, serta mengusung kesetaraan perdagangan. Aam yang menjalankan bisnisnya sejak 2014, telah menjadi pemasok kain dan kulit sejumlah jenama ternama dunia, seperti Christian Dior, Elvi, Gucci, dan Prada. Saat ini, ia sedang berupaya mengegolkan nota kesepahaman bisnis dengan jenama ternama AS. Direktur Penggunaan dan Pemasaran Produk Dalam Negeri Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Krisna Ariza mengatakan, pelajar di Indonesia atau diaspora Indonesia bisa menjadi eksportir produk-produk berbasis budaya Nusantara.

Mereka bisa mempromosikan produk-produk itu lewat media sosial atau menjualnya melalui e-dagang. Namun, mereka harus mempertimbangkan sejumlah hal, antara lain kualitas dan keberlanjutan produk serta standardisasi produk dari negara lain. Kemendag juga memfasilitasi promosi produk Nusantara, baik di dalam maupun luar negeri. ”Para pelaku usaha juga bisa bekerja sama dengan Indonesian Trade Promotion Centre dan atase perdagangan Indonesia di luar negeri. Mereka bisa mendapatkan informasi pasar ekspor atau membidik peluang mempromosikan produk di luar negeri,” katanya. (Yoga)


Tangan Kreatif Pedagang Sate Kambing Surakarta

KT3 16 Feb 2024 Kompas (H)

Kuliner kambing di Surakarta, Jateng, begitu beragam berkat keuletan para pedagang. Kreasi itu bertahan melintasi zaman dan menjadi wujud kegeniusan orang-orang yang bergelut di ”pawon”. Tri (60), warga asal Banyumas, Jateng, duduk sendiri diterpa asap tipis dari daging kambing yang tengah dipanggang di Warung Sate Mas Wal, Surakarta, Selasa (13/2). Sambil menanti pesanannya matang, ia sesekali menelan ludah. Sorot matanya berbinar saat pelayan datang membawa sepiring nasi dan seporsi ”garmas” (garang masak) pesanannya. Tanpa berlama-lama, ia santap habis olahan daging kambing khas ”Kota Bengawan” itu. Daging kambing dipanggang setengah matang sebelum dimasak dengan kuah santan mirip tongseng. Proses ini memberi cita rasa tersendiri.

Sensasi daging panggang dalam menu berkuah. Itu membedakannya dari tongseng yang dagingnya dimasak langsung. Eko Purnomo (33), pemilik Warung Sate Mas Wal, jarang menemukan menu serupa ketika jajan di warung sate di kota-kota lain. Di warung miliknya, garmas menjadi incaran pelanggannya. Dalam sehari, 80 % konsumen memesan menu tersebut. ”Andalannya di sini yang dimasak pakai wajan. Selain garmas, ada tongseng dan krengseng,” ujarnya. Sebagai penerus usaha, Eko tak hanya melestarikan menu yang biasa disajikan ayahnya. Ia merasa perlu ada menu baru demi menarik lebih banyak pelanggan. Ia antara lain menambah menu seperti gulai goreng dan tengkleng masak.

Kisah soal kreativitas pedagang sate juga bisa ditengok dari Warung Sate Tambaksegaran yang didirikan Lim Hwa Youe pada 1948. Warung itu tergolong legendaris karena membidani lahirnya sate buntel yang bentuknya berbeda dengan sate daging umumnya, karena bahan bakunya dari daging cacah yang dibungkus dengan lemak jaring. ”Awalnya, ada teman-teman eyang yang tidak bisa makan daging kambing karena alot (keras). Lalu, eyang bikin sate buntel yang dagingnya dicacah. Jadi, orang sepuh atau anak-anak kecil bisa makan sate itu,” kata Evi Yuliani, penerus dari generasi ketiga Warung Sate Tambaksegaran. (Yoga)