Industri Manufaktur
( 226 )Kinerja Ekspor Manufaktur Melemah
Kinerja ekspor industri pengolahan atau manufaktur pada
periode Januari-Oktober 2023 menurun 10,30 % dibandingkan dengan periode yang
sama tahun lalu, dikarenakan pelemahan permintaan dunia dan melandainya
sejumlah harga komoditas global. Mengutip data BPS, nilai ekspor industri
pengolahan sesuai harga barang (free on board/FOB) Januari-Oktober 2023
mencapai 155,16 miliar USD, merosot 10,30 % ketimbang periode yang sama tahun
lalu yang sebesar 172,97 miliar USD. Penurunan terbesar dicatat oleh komoditas
produk lemak dan minyak hewani/nabati olahan yang pada periode Januari-Oktober
2023 merosot 19,52 % secara tahunan.
Komoditas besi dan baja juga mencatat penurunan kinerja ekspor.
Pada Januari-Oktober 2023, ekspor besi dan baja bernilai 22,13 miliar USD,
menurun 4,35 % secara tahunan. Komoditas lainnya yang mencatatkan penurunan ekspor
cukup dalam adalah alas kaki. Pada Januari-Oktober 2023 ekspor alas kaki
mencapai 5,33 miliar USD, menurun 18,86 % secara tahunan. Direktur Eksekutif
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, Kamis
(16/11) menjelaskan, penurunan kinerja ekspor industri pengolahan itu disebabkan
gabungan dari permintaan ekspor yang melemah dan harga komoditas yang kian melandai.
Hal itu dipicu oleh melambatnya perekonomian negara-negara tujuan ekspor Indonesia.
(Yoga)
Pekerja Andal, Manufaktur Tangguh
Ketangguhan industri manufaktur dan keandalan tenaga kerja
tidak bisa diraih dengan cara instan. Perlu tekad, strategi, dan waktu untuk
mewujudkannya. Industri pengolahan berperanpenting dalam perekonomian Indonesia,
antara lain dari sisi serapan tenaga kerja dan sumbangannya terhadap produk
domestik bruto (PDB). Pada triwulan III-2023, pada saat perekonomian tumbuh
4,94 % secara tahunan, industri pengolahan tumbuh 5,2 % dengan distribusi terhadap
PDB sebesar 18,75 %. Data BPS menunjukkan, pertumbuhan industri pengolahan yang
melampaui pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang permintaan domestik yang masih kuat.
Meski demikian, mengutip data Statista, peran sector manufaktur terhadap PDB
Indonesia pada 2017-2022 kian merosot. Porsi industri pengolahan yang pada 2017
sebesar 20,16 %, turun menjadi 19,24 % pada 2021 dan 18,34 % pada 2022.
Gejala deindustrialisasi, yang ditandai dengan merosotnya peran
industri dalam perekonomian, kian jelas. Sebaliknya, sektor jasa berkembang
cepat. Lapangan usaha transportasi dan pergudangan, meskipun perannya 5,98 %
terhadap PDB, pada triwulan III-2023 tumbuh 14,74 % secara tahunan. Lapangan usaha
akomodasi, makan dan minum, yang porsinya 2,51 % pada PDB, tumbuh 10,9 %. Merujuk
data BPS, meskipun jumlahnya bertambah, porsi penduduk yang bekerja di industri
pengolahan menyusut, dari 14,17 % pada Agustus 2022 menjadi 13,83 % pada Agustus
203, dengan rata-rata upah Rp 3,2 juta per bulan, sedikit di atas rata-rata
upah buruh berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2023 yang Rp 3,18
juta per bulan. Tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keterampilan andal
mesti disiapkan dan industri pengolahan mesti diperkuat. Industri pengolahan
yang kuat akan menopang pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas perekonomian
saat terjadi guncangan. (Yoga)
Kontribusi Serapan Tenaga Kerja Manufaktur Menurun
Kontribusi serapan tenaga kerja sektor industri pengolahan
atau manufaktur per Agustus 2023 menurun dibandingkan periode yang sama tahun
lalu. Ini berarti laju serapan tenaga kerja industri pengolahan lebih lambat ketimbang sejumlah sektor ekonomi
lainnya. Mengutip data BPS, porsi serapan tenaga kerja industri pengolahan pada
Agustus 2023 sebesar 13,83 % dari total jumlah penduduk bekerja. Angka ini menurun
dibandingkan Agustus 2022 yang sebesar 14,17 %. Pada Agustus 2023, jumlah
penduduk bekerja 139,85 juta orang. Adapun pada Agustus 2022 jumlahnya sebanyak
135,30 juta orang. Jumlah tenaga kerja industri pengolahan selama periode
tersebut juga bertambah sekitar 180.000 orang.
”Jumlah serapan tenaga kerja bertambah, tetapi kontribusinya
malah menurun. Berarti laju serapan tenaga kerja sektor industri pengolahan
kalah cepat dibandingkan dengan sektor lain,” ujar Head of Center of Industry,
Trade, Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
Andry Satrio Nugroho, Senin (13/11). Ia menambahkan, jika dilihat lebih detail,
porsi serapan tenaga kerja melaju lebih cepat di berbagai sektor jasa. Sektor
akomodasi dan makanan minuman pada Agustus 2023 berkontribusi menyerap tenaga kerja
7,71 %, meningkat dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 7,1 %. Andry menjelaskan, apabila dilihat
dengan perspektif yang lebih luas, ini merupakan bagian dari gejala
deindustrialisasi. Artinya, peran industri pengolahan dalam struktur perekonomian
Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan sektor jasa. (Yoga)
Mendorong Kontribusi Manufaktur
Pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk menjadikan industri manufaktur sebagai tulang punggung perekonomian mengingat sampai dengan kuartal ketiga tahun ini kontribusi sektor usaha itu belum bergerak banyak. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk menjadi negara industri, kontribusi industri manufaktur Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara harus mencapai 30%. Sementara sampai kuartal ketiga tahun ini, kontribusi manufaktur terhadap PDB masih di bawah kisaran 20%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) porsi manufaktur mencapai 18,75% naik tipis bila dibandingkan dengan pencapaian kuartal sebelumnya di 18,25%. Sebagaimana yang kita ketahui, impor bahan baku kebutuhan produksi masih berada di kisaran 60%—70%, beberapa sektor usaha bahkan ada yang mencapai 90% seperti industri farmasi dan kimia. Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu bahkan sudah menggaungkan kemandirian industri farmasi untuk mengurangi ketergantungan impor, tetapi agaknya simpul utama persoalan belum terbuka hingga mimpi itu belum terealisasi. Untuk energi, polemik harga gas industri sampai sekarang juga masih belum terselesaikan. Permintaan Presiden agar ada pemberlakuan harga khusus kepada sektor industri tertentu tak berjalan mulus. Belum lagi perizinan usaha yang masih menjadi tantangan. Penyediaan lahan tak kalah ruwet, pemerintah daerah memiliki aturan yang kerap dikeluhkan investor. Dari realisasi investasi senilai Rp1.053,1 triliun, penanaman modal di sektor manufaktur mencapai Rp433,9 triliun atau mencapai 41,2% dari total investasi. Pencapaian tersebut naik 18,8% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Demikian juga untuk penyerapan tenaga kerja yang mencapai 19,35 juta orang atau 13,83% dari total pekerja. Kerja keras dan kerja sama semua pihak, pemerintah dan stakeholder terkait sangat dibutuhkan. Ego sektoral harus dibuang jauh bila menginginkan Indonesia menjadi negara industri. Komitmen bersama dibutuhkan. Indonesia emas dengan bonus demografi pada 2045 harus dimanfaatkan dengan baik. Masih tingginya minat investor baik asing maupun lokal untuk menanamkan modal, menunjukkan optimisme terhadap perekonomian Indonesia di masa depan. Manufaktur harus berkontribusi lebih besar lagi agar harapan menjadi negara industri yang dicita-citakan berpuluh tahun lalu dapat terjadi.
Beban Ganda Industrialisasi
Indonesia butuh industri
manufaktur yang tangguh untuk naik kelas menjadi negara maju. Namun, tantangan
untuk menghidupkan sektor pengolahan semakin berat di tengah gejala
deindustrialisasi dini dan ketidakpastian ekonomi dunia yang menjadi-jadi.
Pelaku industri dan pemerintah harus sama-sama memutar otak untuk menjaga
momentum pertumbuhan. Gejala deindustrialisasi dini, yang bisa dilihat lewat
menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional,
mulai terlihat sejak tahun 2002 dan semakin signifikan sejak 2009. Sebagai
perbandingan, pada 2008 porsi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB nasional
masih 27,8 %. Sejak tahun 2010, kontribusinya turun ke 22 %, dan selama lima
tahun terakhir selalu bertengger di bawah 20 %. Terakhir, pada triwulan II-2023,
industri manufaktur hanya mampu menyumbang 18,25 % dari total perekonomian
nasional. Di luar persoalan struktural yang terjadi, perekonomian dunia juga
semakin tidak pasti. Akibat berbagai
faktor global, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah hingga nyaris
menyentuh Rp 16.000 per dollar AS, berdampak pada kenaikan beban biaya produksi
bagi industri.
Melemahnya ekonomi
sejumlah negara maju juga membuat lesu ekspor manufaktur. Menurut Ketua Umum
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, di tengah iklim
perekonomian global dan domestik yang sama-sama tidak kondusif itu, tidak heran
apabila ekspansi industri manufaktur nasionnasional cenderung jalan di tempat. Meskipun
kinerja sektor pengolahan masih di zona ekspansif, seperti ditunjukkan data
Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan Purchasing Managers’ Index (PMI)
Manufaktur Indonesia. ”Masih ada ekspansi dunia usaha, tetapi ekspansinya lebih
moderat, tidak eksponensial (konsisten tumbuh semakin tinggi),” kata Shinta,
Kamis (26/10). Dari dalam negeri, problem inefisiensi iklim usaha yang tak
kunjung diatasi membuat kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus
menurun. Investasi di sektor manufaktur menurun akibat iklim investasi yang
kurang bersahabat sehingga memperburuk gejala deindustrialisasi dini. (Yoga)
Pukulan Ganda Hantam Manufaktur
Industri manufaktur tengah mengalkulasi ulang biaya produksi di tengah tingginya beban bunga pinjaman serta kenaikan harga bahan baku. Depresiasi rupiah telah menyebabkan kenaikan biaya impor bahan baku. Efek lain adalah kenaikan beban bunga pinjaman perbankan. Beban bunga pinjaman perbankan akan naik menyusul langkah BI menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin ke 6 % pada akhir pekan lalu. Ikhtiar moneter ini guna menstabilkan nilai tukar rupiah yang melemah dalam beberapa pekan terakhir di tengah meningkatnya ketidakpastian global. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja saat dihubungi, Minggu, (22/10) menyatakan, tingginya tingkat suku bunga pinjaman perbankan turut mengurangi selera industri manufaktur, termaksud di sektor tekstil dan produk tekstil, untuk menggenjot pembiayaan.
Pelemahan kredit industri tercermin pada saldo bersih tertimbang (SBT) atau kebutuhan pembiayaan korporasi yang terus turun dari 24 persen per Maret 2023 menjadi 14,7 % per Agustus 2023. Meski kembali meningkat menjadi 16,1 % pada September 2023, level tersebut masih berada di bawah level tertinggi tahun ini. Perlambatan terjadi karena dampak penurunan kegiatan operasional seiring melemahnya permintaan domestik dan ekspor. SBT sector pengolahan turun pada September 2023 sebesar 4,6 %, lebih rendah dibandingkan Agustus 2023 sebesar 6,2 %. (Yoga)
Depresiasi Rupiah Senggol Manufaktur
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD mengakibatkan
sejumlah sektor industri manufaktur, seperti industri makanan-minuman serta
industri tekstil dan produksi tekstil dalam negeri, terdampak. Pelemahan kurs juga
berpotensi memangkas daya beli dan permintaan masyarakat. Nilai tukar rupiah
saat ini tengah melemah atau terdepresiasi akibat ketidakpastian pasar keuangan
global. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Selasa (17/10)
malam, kurs rupiah berada di level Rp 15.718 atau melemah 1,49 % dibandingkan akhir
September 2023. Secara kalender berjalan, nilai tukar rupiah juga tercatat
melemah 0,80 % dibandingkan akhir Desember 2022.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh
Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di Jakarta, Selasa (17/10) mengatakan, dampak
depresiasi rupiah dirasakan oleh para pelaku industri makanan-minuman di Tanah
Air. Sebab, sebagian besar kebutuhan produksi industri makanan-minuman, seperti
bahan baku dan barang modal, masih impor. ”Di samping bahan baku dan barang
modal, ada juga biaya lain, seperti logistik dan kapal. Semua itu, kan, dalam
bentuk USD sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan, baik di sisi produksi, harga
pokok produksi, maupun dalam biaya logistik dan distribusinya,” kata Adhi. (Yoga)
Proton-Geely Berminat Buat Pabrik di Thailand
Perusahaan otomotif Malaysia, Proton, dan mitranya dari China, Geely, mempertimbangkan membangun pabrik di Thailand untuk memproduksi mobil listrik. Hal itu disampaikan Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin, Rabu (11/10/2023), setelah menggelar pertemuan dengan PM Malaysia Anwar Ibrahim di Putrajaya, Malaysia. Geely memegang 49,9 persen saham Proton. Srettha tiba di Malaysia, Rabu, dan akan melanjutkan lawatan ke Singapura, Kamis (12/10). (Yoga)
Kinerja Manufaktur Terus Melemah
Impor bahan baku dan penolong menurun selama delapan bulan terakhir, memberikan sinyal pelemahan industri manufaktur ditengah lesunya pasar ekspor dan tersendatnya permintaan domestik. Jika terus berlanjut, kondisi ini bisa menekan produktivitas industri dan membawa ancaman gelombang PHK hubungan kerja di sektor padat karya. Data BPS menunjukkan, penurunan kinerja impor bahan baku dan penolong telah berlangsung selama setidaknya delapan bulan terakhir. Pada periode Januari-Agustus 2023, nilai impor bahan baku dan penolong mencapai 107,31 miliar USD, turun 13,14 % dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya (Januari-Agustus 2022), yakni 123,55 miliar USD. Impor bahan baku dan penolong pada Agustus 2023 juga melambat secara bulanan, yakni turun 4,13 % ketimbang Juli 2023, serta terkontraksi lebih dalam secara tahunan sebesar 20,39 % dibandingkan Agustus 2022. Secara kumulatif,
penurunan impor bahan baku dan penolong itu terpantau terjadi berturut-turut sejak Februari 2023. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Senin (18/9) menilai, turunnya impor bahan baku selama berbulan-bulan itu merupakan pertanda kegiatan produksi yang tertahan dan kinerja industri manufaktur sedang melambat. Industri pengolahan dalam negeri masih sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri. Ketika permintaan jatuh, produsen menahan produksinya, yang otomatis terlihat lewat penurunan impor bahan baku dan penolong. ”Demand (permintaan) ekspor belum terlalu kuat sehingga produsen menahan produksi dan tidak membeli bahan baku dalam jumlah besar,” katanya. Sementara itu, permintaan dalam negeri tidak cukup kuat untuk menopang produksi dan kinerja industri. (Yoga)
ASEAN Bisa Menua Sebelum Kaya
Ekonomi ASEAN mandek, tidak kunjung beranjak dari status berpendapatan menengah ke tinggi yang disebut middle income trap, kecuali Singapura. Ciri-ciri ekonomi negara ini adalah pertumbuhan yang melambat, upah riil mandek atau anjlok, pendapatan timpang, dan maraknya kegiatan sektor informal. Demografi muda di negara yang terperangkap berpotensi menua sebelum kaya. ”Akankah penduduk negara-negara berkembang Asia menua sebelum sempat kaya?” demikian Anoop Singh, Direktur Departemen Asia Pasifik IMF menuliskan, 29 April 2015. Pertumbuhan di Indonesia, Malaysia, Thailand, merujuk Emerging Asia: At Risk of the ”Middle Income Trap”? dari laman Imf.org, melambat dan lebih rendah dari pertumbuhan sebelum krisis 1997.
Hingga 2023, status kelas menengah ASEAN tidak berubah sebagaimana Middle Income Countries: Development news, research, World Bank. Aksi untuk melepaskan diri dari jebakan ini sangat urgen. Pakar dari Japan External Trade Organization (Jetro), 5 Oktober 2019, mengingatkan efek jebakan tersebut. Warga sulit meraih pendidikan tinggi dan negara sulit membiayai riset berbiaya besar (”Can multinationals save ASEAN from the middle-income trap?”, East Asia Forum). ASEAN tergantung pada korporasi multinasional asing (MNCs) dalam proses industrialisasi sekaligus mengintegrasikan ekonomi dengan sendirinya ke kawasan. ASEAN tidak pernah menjadi produsen otomotif merek sendiri, tak lebih sebagai pemasok komponen Toyota, sebagai contoh. ASEAN sekaligus menjadi pasarnya.
”Negara-negara bisa membuat wilayahnya menarik sebagai tujuan investasi, tetapi tidak dapat mendikte struktur produksi yang cocok untuk dirinya,” demikian Shigehisa Kasahara dalam laporan UNCTAD, April 2004, berjudul ”The Flying Geese Paradigm: A Critical Study of Its Application to East Asian Regional Development”. ASEAN semakin banyak memproduksi dan mengekspor produk-produk yang tidak lengkap (komponen-komponen). ”Derajat ’ketidaklengkapan’ lebih tinggi terjadi pada produk-produk lebih canggih. MNCs dan pemerintahan asalnya berpotensi mencengkeram sehingga ASEAN tidak bisa maju. Dalam kasus terbaru, Uni Eropa ”mencoba” menenggelamkan hilirisasi industri berbasis komoditas. Ini kebijakan yang bisa menjebak Indonesia agar tidak kaya. (Yoga)
Pilihan Editor
-
Beban Bunga Utang
05 Aug 2022 -
The Fed Hantui Pasar Global
26 Jul 2022









