;
Tags

Pajak

( 1516 )

Sorotan terhadap Coretax System: Harapan dan Tantangan

HR1 20 Jan 2025 Kontan
Peluncuran sistem Coretax DJP senilai Rp 1,2 triliun yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada awal 2025 untuk mendukung pelaporan pajak elektronik menuai banyak kritik akibat berbagai masalah teknis. Banyak wajib pajak melaporkan kendala seperti faktur pajak yang tidak dapat diproses, pesan error saat pengisian data, dan keterlambatan operasional. Di media sosial, sejumlah pengguna mengungkapkan pengalaman mereka, meskipun sebagian mencatat adanya perbaikan.

Ekonom Celios, Nailul Huda, mengkritik pemerintah karena dinilai terlalu tergesa-gesa meluncurkan Coretax tanpa pengujian sistem yang memadai. Ia bahkan menyarankan agar Dirjen Pajak mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral atas kegagalan sistem yang menggunakan dana publik besar. Selain itu, ia menyoroti perlunya evaluasi terhadap kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

Meski demikian, Pino Siddharta, Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, mengakui adanya perbaikan signifikan sejak awal penerapan Coretax. Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, meminta publik untuk bersabar dan memberi waktu tiga hingga empat bulan agar sistem dapat berfungsi optimal.

Permasalahan Coretax menunjukkan tantangan dalam implementasi sistem teknologi besar dan menggarisbawahi pentingnya pengujian dan kesiapan yang matang sebelum peluncuran layanan berbasis digital.

Coretax Diterapkan, Bisakah untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak

KT1 17 Jan 2025 Tempo
UNTUK menambah pemasukan negara, pemerintahan Prabowo Subianto melakukan berbagai upaya untuk menggenjot penerimaan pajak. Salah satunya menerapkan sistem Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax atau sistem pajak inti. Sistem ini mengotomatiskan layanan administrasi pajak dan memberikan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Implementasi sistem pajak inti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang terbit pada 14 Desember 2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Coretax dibangun sebagai upaya reformasi perpajakan dengan mengintegrasikan semua sistem administrasi perpajakan.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menerapkan sistem Coretax per 1 Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti menjelaskan bahwa Coretax merupakan bagian dari reformasi perpajakan di bidang teknologi informasi dan basis data. "Sistem Coretax menyederhanakan proses kerja di Direktorat Jenderal Pajak sehingga pegawai mempunyai efisiensi waktu kerja yang pada gilirannya dapat mengoptimalkan penggalian potensi," kata Dwi kepada Tempo, Kamis, 16 Januari 2025. Coretax mengintegrasikan beberapa aplikasi perpajakan yang selama ini digunakan secara terpisah, khususnya untuk pemotongan pajak penghasilan (PPh) dan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN). Direktorat Jenderal Pajak berharap integrasi ini dapat mempercepat prosedur pemungutan pajak sehingga lebih efisien.

Selain itu, Dwi mengungkapkan bahwa fitur prepopulasi data, yakni pengisian otomatis data dari pihak-pihak terkait, akan memudahkan wajib pajak menyusun dan melaporkan surat pemberitahuan (SPT). Dengan data yang sudah terisi otomatis, ia yakin potensi kesalahan input dapat diminimalkan. Kementerian Keuangan memproyeksikan sistem Coretax dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan posisi rasio pajak saat ini yang sebesar 10,02 persen, Indonesia bisa mencetak rasio pajak hingga 11,5 persen dengan sistem inti tersebut. Rasio pajak Indonesia dalam satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen terhadap PDB. Sedangkan rata-rata rasio pajak negara-negara di Asia Tenggara melampaui 15 persen dari PDB. (Yetede)


Potensi Pajak Besar dari Korporasi Asing

HR1 17 Jan 2025 Kontan (H)
Pemerintah Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta euro mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 16 Tahun 2024. Langkah ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan OECD, didukung oleh lebih dari 140 negara, untuk menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menyatakan kebijakan ini bertujuan mencegah praktik penghindaran pajak melalui tax haven, tanpa berdampak pada wajib pajak orang pribadi atau UMKM. Selain itu, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono memperkirakan Indonesia dapat meningkatkan penerimaan pajak antara Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun melalui kebijakan ini.

Namun, Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research, menilai bahwa dampaknya secara nominal mungkin tidak terlalu signifikan mengingat terbatasnya jumlah perusahaan multinasional besar di Indonesia. Konsultan pajak Raden Agus Suparman menambahkan bahwa kebijakan ini memberikan peluang baru untuk meningkatkan penerimaan pajak dari korporasi besar, yang sebelumnya hanya membayar pajak tidak langsung seperti PPN.

Pengamat pajak dari DDTC, Bawono Kristiaji, berharap kebijakan ini mampu mengurangi perbedaan tarif pajak antar-negara, sehingga insentif bagi perusahaan untuk mengalihkan laba ke negara dengan pajak rendah dapat ditekan. Hal ini diharapkan mengurangi praktik penghindaran pajak melalui pengalihan laba.

Crazy Rich Kini Sulit Menghindari Pajak

HR1 15 Jan 2025 Kontan
Coretax Administration System (Coretax DJP) menjadi alat andalan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meningkatkan penerimaan pajak, khususnya dari kelompok wajib pajak super kaya atau crazy rich. Dengan Coretax, DJP dapat mengakses data penghasilan utama dan tambahan wajib pajak secara lebih mendetail. Namun, kontribusi pajak dari kelompok ini masih belum optimal. Hingga Agustus 2024, pajak penghasilan (PPh) crazy rich hanya mencapai Rp 18,5 triliun atau 1,54% dari total penerimaan pajak sebesar Rp 1.196,54 triliun.

Ariawan Rahmat, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, memperkirakan potensi penerimaan pajak dari 50 orang terkaya di Indonesia seharusnya mencapai Rp 80 triliun per tahun. Namun, kompleksitas administrasi pajak orang super kaya membuka peluang aggressive tax planning untuk mengurangi kewajiban pajak. Ariawan menilai, Coretax dapat memaksimalkan data matching untuk mendeteksi sumber harta wajib pajak secara lebih akurat.

Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research, menyarankan pemerintah memanfaatkan kebijakan yang ada, seperti pengenaan pajak atas fasilitas perusahaan dan penguatan pengawasan melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Untuk jangka panjang, Wahyu mengusulkan penerapan pajak warisan dan pajak kekayaan (wealth tax) sebagai opsi tambahan.

Sementara itu, Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, menyatakan bahwa tidak ada perlakuan khusus untuk crazy rich, tetapi fokus diarahkan pada edukasi, peningkatan pelayanan, dan pengawasan. DJP menggunakan mekanisme pengawasan pembayaran masa (PPM) dan pengawasan kepatuhan material (PKM) untuk memastikan kepatuhan pajak kelompok ini. Tujuannya adalah mendorong voluntary compliance, terutama bagi mereka dengan penghasilan lebih dari Rp 5 miliar per tahun.

Diusulkan Oleh Pengusaha Transisi Core Tax Agar Diperpanjang

KT3 15 Jan 2025 Kompas
Implementasi sistem Core Tax masih menghadapi berbagai kendala sejak resmi berlaku dua pekan lalu. Pelaku usaha meminta pemerintah untuk memperpanjang masa transisi dan melonggarkan sanksi keterlambatan penyetoran faktur pajak sampai sistem dipastikan benar-benar sudah siap.Masukan itu disampaikan pengusaha dalam audiensi terbatas antara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan di Jakarta, Senin (13/1/2025). Dalam pertemuan itu, pelaku usaha menyampaikan keluh kesah terkait penerapan sistem Core Tax. Core Tax atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) adalah sistem perpajakan terpadu berbasis digital yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025. Sistem ini mengintegrasikan berbagai proses bisnis yang terkait dengan urusan penyetoran dan pelaporan pajak oleh wajib pajak. Untuk saat ini, Core Tax masih melayani fitur layanan administrasi pajak bagi wajib pajak berstatus pengusaha kena pajak (PKP) yang bertugas menyetorkan dan melaporkan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Meski demikian, selama dua pekan terakhir, pelaku usaha menghadapi macam-macam kendala untuk mengakses sistem. Mulai dari kesulitan mendaftar dan mengakses (log in), kapasitas bandwidth yang terbatas sehingga situs gagal dimuat, sampai ketidaksesuaian data pajak dalam sistem. Berbagai kendala itu membuat pengusaha kesulitan menjalankan kewajibannya melaporkan dan menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN di awal tahun. Wakil Ketua Umum Apindo Sanny Iskandar mengatakan, berkaca dari masalah yang masih banyak ditemukan di lapangan, pengusaha meminta agar pemerintah bisa memperpanjang masa transisi dari awalnya tiga bulan menjadi enam bulan, sampai sistem benar-benar sudah matang dan siap diterapkan. ”Bahkan, kalau bisa satu tahun. Sebab, ini perubahan sistem yang masif. Selain kesiapan infrastruktur digital pemerintah yang perlu dibenahi, perusahaan juga butuh waktu untuk menyiapkan sistem dansumber daya manusia mengelola sistem yang baru ini,” kata Sanny saat dihubungi di Jakarta, Selasa (14/1).

Ia mengatakan, usulan tersebut sudah disampaikan pengusaha dalam sesi audiensi. Pejabat DJP akan mempertimbangkan jika masa transisi perlu diperpanjang dari awalnya tiga bulan. ”Saya yakin pemerintah harusnya cukup bisa memahami. Apalagi, sosialisasi sistem baru jalan setelah pemerintah set up sistemnya. Itu butuh proses, tidak bisa sekaligus. (DJP) perlu berkeliling juga untuk melakukan sosialisasi,” katanya. Masa transisi menjadi penting karena pengusaha berstatus PKP dapat dikenai sanksi denda jika terlambat menyetorkan pungutan PPN dan menerbitkan faktur pajak. Batas waktu pelaporan faktur pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya sejak transaksi barang dan jasa dan pembuatan faktur pajak. Berhubung sistem belum siap, pemerintah telah menetapkan waktu transisi selama tiga bulan dari Januari-Maret 2025. Selama masa transisi itu, pengusaha yang terlambat membuat faktur pajak tidak akan dikenai sanksi apa pun. (Yoga)

Pemerintah Berwacana Menghidupkan Kembali Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

KT3 13 Jan 2025 Kompas
Sebelum tahun 2024 berakhir, DPR dan pemerintah sempat berwacana menghidupkan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty. Kini, tahun sudah berganti. Pemerintah sedang ”pusing-pusingnya” mencari sumber penerimaan baru dikala kinerja pajak masih seret. Apakah amnesti pajak akan dijadikan solusi? Gagasan soal program pengampunan pajak yang diusulkan oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sempat tenggelam di tengah ingar-bingar polemik kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sepanjang akhir tahun lalu. Awal tahun ini, wacana itu kembali muncul ke permukaan lewat pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan. Menurut Budi, pemerintah sedang menyiapkan program pengampunan pajak jilid III. 

Program itu disebut-sebut akan menjadi solusi untuk mengembalikan aset dan devisa negara, khususnya dari kasus korupsi besar. Budi melempar pernyataan tersebut dalam konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola di Kejaksaan Agung pada 2 Januari 2025. Ia menyebut, wacana program pengampunan pajak sedang dirumuskan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan. ”Ini salah satu mekanisme yang sedang disiapkan untuk memberi ruang, sebagaimana disampaikan Bapak Presiden kepada mereka-mereka yang ingin mengembalikan hasil-hasil kekayaan mereka, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, melalui program tax amnesty,” kata Budi saat itu. Wacana untuk menghidupkan kembali program pengampunan pajak tersebut mendapat respons beragam dari berbagai pemangku kepentingan. 

Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas sebagai penasihat ekonomi Presiden Prabowo Subianto, misalnya, menilai wacana program pengampunan pajak tersebut terlalu terburu-buru untuk dibahas. Mengutip anggota DEN, Chatib Basri, saat ini masih terlalu dini untuk membahas opsi menghidupkan kembali program amnesti pajak. Ia pun enggan berkomentar terlalu jauh. ”Saya kira terlalu cepat untuk membicarakan mengenai tax amnesty saat ini. It’s too early (terlalu dini). Itu, kan, sebenarnya pembahasannya (masih) masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Kalau informasinya sudah lebih jauh, baru kita bicara,” kata Chatib dalam konferensi pers perdana DEN di Jakarta, Kamis (9/1/2025). Sementara itu, anggota DEN lainnya, Arief Anshory Yusuf, dengan tegas menyatakan tidak sepakat jika program pengampunan pajak diadakan
sampai berjilid-jilid. (Yoga)

Coretax System Diragukan Dapat Meningkatkan Tax Ratio

HR1 13 Jan 2025 Kontan
Pelayanan pajak melalui Coretax System masih menghadapi sejumlah kendala, meskipun pemerintah optimis sistem ini dapat mendukung peningkatan penerimaan negara. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, meminta maaf atas gangguan tersebut dan menegaskan upaya perbaikan layanan Coretax untuk memastikan kelancaran pelayanan.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, optimis bahwa Coretax dapat meningkatkan penerimaan hingga Rp 1.500 triliun. Namun, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menyoroti bahwa peningkatan penerimaan pajak belum tentu otomatis menaikkan rasio pajak karena dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB. Ia juga menekankan perlunya pertumbuhan penerimaan pajak yang lebih besar daripada pertumbuhan PDB untuk meningkatkan rasio pajak.

Pengamat pajak dari CITA, Fajry Akbar, mencatat bahwa reformasi pajak berpotensi meningkatkan rasio pajak, namun perbaikan berkelanjutan diperlukan. Fajry menyoroti bahwa struktur ekonomi Indonesia yang didominasi oleh usaha kecil dan mikro, serta rendahnya upah buruh formal, menjadi faktor utama rendahnya tax ratio.

Prianto juga menambahkan bahwa faktor internal, seperti intensifikasi melalui penerbitan SP2DK, dan faktor eksternal, seperti penghindaran pajak oleh wajib pajak, turut memengaruhi rendahnya tax ratio. Ia melihat Coretax sebagai solusi untuk meningkatkan pengawasan dan kepatuhan pajak.

Keberhasilan Coretax dalam meningkatkan rasio pajak bergantung pada perbaikan sistem administrasi, regulasi, dan kebijakan pajak, serta upaya berkelanjutan untuk memperbaiki struktur ekonomi Indonesia.

Pemerintah Bakal Ketat Awasi Pajak untuk Mengerek Pemasukan Negara

KT3 10 Jan 2025 Kompas
Guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengerek pemasukan negara, pemerintah bakal lebih ketat melakukan pengawasan lewat digitalisasi dan integrasi sistem pemerintahan. Ke depan, wajib pajak akan semakin sulit menyembunyikan hartanya dari kewajiban. Ini diharapkan mampu menutup kebocoran dan pengemplangan pajak yang selama ini terjadi. Saat ini, langkah awal digitalisasi sistem pemerintahan telah dimulai dengan penerapan sistem administrasi pajak, Core Tax. Sistem baru yang berlaku sejak 1 Januari 2025 itu tengah disoroti karena lambat dan sulit diakses, khususnya oleh para pengusaha yang mesti menerbitkan faktur pajak alias bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di awal tahun. Meskipun penerapannya kini masih bermasalah, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, sistem tersebut akan menjadi game changer atau mengubah arah perekonomian Indonesia.

Khususnya, untuk mengatasi praktik pengemplangan dan kebocoran pajak yang selama ini masih masif terjadi dan merugikan perekonomian negara. Ke depan, setelah terintegrasi dengan sistem pemerintahan lain, Core Tax akan mampu mendeteksi berapa banyak aset dan harta yang sebenarnya dimiliki seseorang, berapa nilai transaksi rutinnya di berbagai platform e-dagang, sampai seberapa sering seseorang bepergian ke luar negeri. Dengan demikian, wajib pajak akan semakin sulit ”berbohong” atau menyembunyikan aset, harta, dan kapasitas ekonominya dari kewajiban pajak. Sistem otomatis akan mendeteksi input data yang tidak benar. ”Jadi, setahun ke depan, sistem ini akan jadi game changer buat negeri ini. Bahkan, nanti ada mantan pejabat yang tidak patuh juga akan ketahuan. Misalnya, saya ini mantan pejabat, saya sembunyikan sesuatu, pasti ketahuan. Meski dulu paling berkuasa,tidak ada urusan,” kata Luhut dalam konferensi pers perdana DEN di Jakarta, Kamis (9/1/2025). 

Tidak hanya deklarasi Anggota DEN, Septian Hario Seto, menambahkan, pada prinsipnya pemungutan pajak ke depan tidak hanya dilakukan berdasarkan deklarasi wajib pajak semata. ”Kantor pajak tidak hanya mengacu pada apa yang diserahkan oleh wajib pajak. Akan ada deteksi otomatis oleh sistem kalau wajib pajak memasukkan data yang tidak benar. Ini nanti bertahap dilakukan,” ucap Seto. Saatini, kepatuhan pajak di Indonesia masih sangat rendah. Luhut mengatakan, Bank Dunia mengkritik Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak mampu mengumpulkan pajak dengan optimal, senasib dengan Nigeria. Ia menyebut, kepemilikan mobil dan sepeda motor di Indonesia sekitar 100 juta unit, tetapi yang patuh membayar pajak hanya 50 persen. Oleh karena itu, mulai tahun 2025, pemerintah akan serius membangun sistem pemerintahan yang saling terintegrasi, termasuk urusan perpajakan. DEN telah memberi rekomendasi kepada Presiden Prabowo Subianto agar memprioritaskan digitalisasi sistem pemerintahan sebagai kunci mempercepat transformasi ekonomi Indonesia. (Yoga)

Menteri Airlangga Janjikan Keringanan Berbagai Fasilitas Pajak untuk Investor Hong Kong

KT1 09 Jan 2025 Tempo

Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menjanjikan berbagai fasilitas keringanan pajak kepada Investor dari Hong Kong. Tawaran tersebut diungkap Airlangga saat menerima kunjungan dari Menteri Keuangan Hong Kong, Paul Chan, di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat Rabu 8 Januari 2024. Airlangga menyambut baik rencana investasi dan kerja sama pembiayaan yang ditawarkan Hong Kong untuk membangun sarana rantai pasok dan proyek infrastruktur lainnya. Dia juga mendorong para pelaku bisnis dari Hong Kong untuk menggali lebih dalam lagi berbagai peluang investasi di Indonesia. Berbagai kemudahan akan diberikan, sehingga diharapkan entitas bisnis dari Indonesia dan Hong Kong dapat mengakses pasar yang lebih luas dan meningkatkan efisiensi bisnis. “Pemerintah Indonesia memberikan berbagai insentif fiskal seperti Tax Holiday, Tax Allowance, Investment Allowance, dan Super Deduction Tax. ” ujar Airlangga dalam pernyataan resmi, dikutip Kamis, 9 Januari 2024.

Bekas pemimpin partai Golkar itu juga menyampaikan bahwa terdapat beberapa sektor kerja sama potensial lainnya yang dapat dijajaki oleh para investor Hong Kong. Di antaranya energi terbarukan dan greenfield. Airlangga mengatakan Indonesia menawarkan berbagai kerja sama menjanjikan dengan potensi pertumbuhan yang signifikan, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dengan fokus area seperti industri, pariwisata, manufaktur, dan digital. Paul Chan menyampaikan bahwa Hong Kong dapat menjadi mitra potensial untuk mengembangkan servis rantai pasok atau supply chain di Indonesia. Sebagai salah satu penyedia financial services terbesar di Asia, Hong Kong melihat berbagai potensi kerja sama yang signifikan dengan Indonesia, khususnya di bidang keuangan. “Indonesia memiliki lingkungan bisnis kondusif serta surplus populasi usia muda dapat menjadi faktor utama yang akan memperkuat kerja sama investasi,”ujar Paul. (Yetede)

Mengapa Penerimaan Pajak Tak Mencapai Target

KT1 09 Jan 2025 Tempo

REALISASI penerimaan pajak tak mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024. Dari perencanaan sebesar Rp 1.988,9 triliun, hanya terkumpul Rp 1.932,4 triliun hingga 31 Desember 2024. Data tersebut mengacu pada laporan APBN 2024 yang belum diaudit Badan Pemeriksa Keuangan. Salah satu pemicunya tak tercapainya penerimaan pajak adalah rendahnya pajak penghasilan (PPh) non-migas yang minus 22 persen. APBN 2024 menargetkan PPh non-migas mencapai Rp 1.063,4 triliun. Namun realisasinya hanya Rp 997,6 triliun. Padahal porsi PPh non-migas mencapai 51,6 persen dari total penerimaan pajak. Selain itu, penerimaan dari PPh badan tercatat hanya Rp 335 triliun atau turun 18,1 persen dibanding realisasi pada 2023 yang mencapai Rp 409 triliun pada 2023. PPh badan mempunyai kontribusi cukup signifikan terhadap total penerimaan pajak, yaitu 17,4 persen. PPh badan adalah pajak yang dikenai terhadap penghasilan sebuah badan atau sekumpulan orang yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.


Menurut Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimayu, setoran perusahaan menurun akibat moderasi harga komoditas. “PPh badan berkontraksi akibat penurunan profitabilitas perusahaan pada 2023 sebagai dampak moderasi harga komoditas, terutama pada sektor pertambangan,” tuturnya saat konferensi pers APBK 2024 pada Senin, 6 Januari 2025. Contohnya, harga komoditas unggulan ekspor Indonesia, seperti batu bara, turun 22,3 persen secara tahunan.  Anggito mencatat PPh badan terkontraksi selama tiga kuartal berturut-turut sebelum akhirnya melonjak pada kuartal terakhir tahun lalu. Penerimaan pajak ini anjlok 29,8 persen pada kuartal pertama, lalu turun lagi hingga 36,6 persen pada kuartal berikutnya. Memasuki kuartal III, kontraksi menipis menjadi hanya 10,3 persen. (Yetede)