Energi
( 489 )ENERGI BARU TERBARUKAN : Berburu Dana Transisi Energi
Pemerintah diminta untuk berburu sumber pembiayaan alternatif menyusul pendanaan pada skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar dipandang tak cukup untuk memenuhi ambisi netral karbon Indonesia.Analis Kebijakan Energi International Institute of Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono mengungkapkan bahwa nilai pinjaman pada skema JETP tidak akan membantu Indonesia dalam mencapai 23% bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025.
Oleh karena itu, dia meminta agar pemerintah tidak hanya mengandalkan dana JETP, tetapi juga mencari sumber pendanaan lainnya untuk menambah dana antara lain pengalokasian dari dana publik yang didalamnya terdapat subsidi, investasi, hingga pinjaman dari bank pelat merah.“Public financial flow yang paling pertama bergerak karena kendali di bawah pemerintah dan mempengaruhi. Seperti public controlled money, subsidi, insentif, investasi dari lembaga keuangan publik,” katanya.Sementara itu, Peneliti Energi Institute of Energy Economic and Financial Analysis Putra Adhiguna memandang bahwa dana JETP tidak bisa memenuhi target ambisi netral karbon Indonesia.
PEMBATASAN EKSPOR MINERAL MENTAH : INVESTASI PENGHILIRAN MEROKET
Kementerian Investasi/BKPM mencatat kebijakan penghiliran mineral di Indonesia melesatkan realisasi investasi industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya hingga 177,9% dalam 4 tahun terakhir. Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara Kementerian Investasi/Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Hasyim Daeng Barang memaparkan peningkatan itu tidak lepas dari kebijakan penghiliran mineral di Indonesia. Menurutnya, nilai investasi pada sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya pada 2019 hanya mencapai Rp61,6 triliun. Namun, dia menegaskan angka investasi tersebut terus menunjukkan tren peningkatan ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memberlakukan larangan ekspor bijih (ore) nikel pada 2020. “Investasi hilirisasi meningkat tiap tahun. Tadinya sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin ini berada di posisi keempat. Ketika kita melarang ekspor ore, industri ini terus naik. Ini menunjukkan bahwa industri hilirisasi ini terus meningkat dari tahun ke tahun,” ujarnya dalam webinar BKPM bertema Peluang Investasi Hilirisasi Sektor Mineral di Jakarta, Senin (14/8). Dalam peta jalan penghiliran investasi strategis, imbuhnya, pemerintah fokus melakukan penghiliran terhadap 21 komoditas di delapan sektor prioritas, mulai dari mineral dan batu bara (minerba), minyak dan gas bumi (migas), hingga perkebunan dan kehutanan.
Hasyim memprediksi nilai investasi penghiliran di delapan sektor prioritas tersebut mencapai angka US$545,3 miliar sampai dengan 2040. Untuk sektor minerba, dia memproyeksi nilainya mencapai US$431,8 miliar yang meliputi penghiliran komoditas batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas-perak, dan aspal buton. Dengan cerahnya industri itu, dia meminta Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mengucurkan kredit kepada pelaku usaha smelter dalam negeri guna mendorong pengembangan industri penghiliran mineral. Saat ini, Hasyim mengatakan terdapat sejumlah smelter yang masih terkendala proses pembangunannya, terutama smelter bauksit. Umumnya kendala berkaitan dengan persoalan investor dan finansial. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, terdapat sembilan smelter bauksit yang masih dalam tahap konstruksi dengan total kapasitas input 27,91 juta ton bijih bauksit. Sembilan smelter itu akan menghasilkan produk alumina sebesar 1 juta ton untuk jenis chemical grade alumina (CGA) dan 8,94 juta ton jenis smelter grade alumina (SGA). Saat ini, total kapasitas produksi SGA nasional mencapai 3 juta ton per tahun, sedangkan produksi CGA mencapai 300.000 ton per tahun. Selain itu, terdapat satu smelter aluminium yang tengah dalam tahap perencanaan dengan kapasitas input 2 juta ton bijih bauksit.
Alasan Perlunya Dilakukan Percepatan Transisi Energi
Fenomena pemanasan global yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir berakibat pada terjadinya perubahan dan krisis iklim di seluruh dunia. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai dampak yang merugikan bagi banyak negara. Topik transisi energi muncul sebagai respons atas fenomena yang terjadi. Banyak pihak menyadari perlunya dibuat langkah dan kebijakan untuk mengurangi emisi gas karbondioksida (CO2), penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Secara global emisi gas CO2 ini sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh sektor energi, yang menyumbang hampir 90% emisi ke udara. Perlu adanya transisi energi dengan mengganti sumber energi yang menyumbang emisi gas CO2 tinggi menuju sumber energi terbarukan yang emisinya lebih kecil atau bahkan nol.
Dorongan percepatan transisi energi mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Alasan utamanya adalah laju perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin tinggi dan kondisi bumi yang semakin mengkhawatirkan. Perubahan dan krisis iklim mengakibatkan terjadinya peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca yang ekstrem. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dampak krisis iklim terlihat dari berbagai peristiwa alam seperti: suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, dan meningkatnya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia. Beberapa tahun terakhir, yakni tahun 2016, 2019, dan 2020 mendominasi tahun terpanas di di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.6-0.8 °C, sedangkan bulan Mei 2023 anomali menunjukkan angka 0.4 °C. Menurut World Meteorological Organization, tahun 2015-2022 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan tahun 2022 menempati peringkat ke-6 sebagai tahun terpanas dunia.
Dampak perubahan iklim mengakibatkan salju abadi di Puncak Jaya, Papua lebih cepat mencair. Kejadian ekstrem dengan frekuensi 50-100 tahun sekali terutama kekeringan dan banjir menjadi semakin pendek atau sering terjadi, misalnya banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 akibat siklon tropis Seroja dan tanah longsor di Natuna bulan Maret 2023. Dampak lainnya adalah krisis air bersih dan meningkatnya wabah penyakit. Selain itu, perubahan iklim membawa kerugian baik ekonomi maupun politik. Frekuensi dan intensitas bencana alam yang semakin terjadi dapat membuat jumlah kemiskinan meningkat dan dapat menimbulkan gejolak politik.
Latar belakang percepatan transisi energi juga didorong situasi krisis batu bara yang terjadi pada awal tahun 2022. Selain itu, percepatan transisi energi juga dinilai akan memberikan banyak manfaat, yaitu transisi ke sumber energi ramah lingkungan akan mampu menciptakan jutaan pekerjaan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mendorong transfer teknologi sehingga membangun keterampilan tenaga kerja terutama di negara berkembang. Skema Energy Transition Mechanism (ETM) dan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) juga mendorong adanya percepatan transisi energi. Baik skema ETM maupun pendanaan JETP mendorong kebijakan dan fasilitas pengurangan emisi untuk pensiun dini PLTU batu bara. ETM dan JETP juga mendorong kebijakan dan fasilitas energi bersih yang ditujukan untuk mengembangkan atau menginvestasikan pembangunan fasilitas energi terbarukan.MASELA BABAK BARU KETAHANAN ENERGI
Tak bisa disangkal, sejak dulu hingga kini industri hulu migas masih memberikan sumbangan besar terhadap pendapatan negara dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Kurun waktu 2020-2022 saja, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat penerimaan negara dari industri hulu migas senilai Rp700 triliun.Persoalannya, kondisi hulu migas RI saat ini menghadapi beberapa tantangan. Selain sumber migas secara alamiah semakin menyusut, investasi yang mahal dan berisiko juga menjadi kendala untuk menemukan cadangan migas baru. Padahal, kebutuhan konsumsi energi fosil di sektor industri, transportasi, komersial dan rumah tangga terus meningkat signifikan. Terkait hal ini, pengambilalihan hak partisipasi Shell Upstream Overseas Services (l) Limited (SUOS) sebesar 20% oleh PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Upstream PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan 15% oleh Petronas di Blok Masela senilai US$650 juta atau setara Rp9,75 triliun itu menjadi sangat penting. Wilayah kerja migas lepas pantai itu bakal memegang peranan kunci dalam pemenuhan kebutuhan dan ketahanan energi nasional.Blok Masela yang terletak di Laut Arafuru merupakan salah satu prospek ladang migas terbesar di Indonesia. Produksinya diestimasikan dapat mencapai 1.600 juta kaki kubik per hari (MMscfd) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun MTPA dan gas pipa 150 MMscfd, serta 35.000 barel kondensat per hari (bcpd).Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan masuknya PHE diyakini bisa mengakselerasi pengembangan salah satu proyek strategis nasional (PSN) tersebut. Terlebih lagi, PHE melalui salah satu anak usahanya, juga memiliki pengalaman yang terbukti dalam pengembangan dan pengoperasian Kilang LNG Badak dan juga pemasaran LNG domestik dan internasional. Melalui pengalaman itu, PHE diharapkan bisa memberikan kontribusi optimal, termasuk dalam operasional di Blok Masela.
Direktur Utama PHE Wiko Migantoro membenarkan setelah pengalihan hak partisipasi ini, Pertamina memang meminta untuk segera mempercepat pemanfaatan sumber energi, terutama gas yang ada di Blok Masela. Hal ini dilakukan terkait dengan kebijakan nasional dalam menghadapi transisi energi.
Memperkuat Posisi Bauran Energi Hijau
Saat ini, pemerintah begitu gencar melakukan pengawasan terhadap proses transisi energi di Tanah Air. Beragam cara dilakukan demi mempercepat pemanfaatan energi ramah lingkungan. Hal tersebut tidak dapat dinafikan mengingat kondisi geografi dan sosial di Indonesia sangat kompleks. Proses transisi energi dipastikan memerlukan waktu dan kesiapan dari semua lini di sektor energi. Strategi yang dipilih untuk mempercepat transisi adalah melakukan bauran energi rendah karbon. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ditetapkan sebesar 23% pada 2025. Dalam proses transisi ini, sektor elektrifikasi dan transportasi menjadi perhatian utama. Program yang dijalankan sangat beragam. Beberapanya adalah implementasi biodiesel, co-firing, penggunaan refuse derived fuel (RDF) atau teknologi pengolahan sampah terpadu yang kemudian dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar. Upaya lain adalah konversi energi fosil ke ramah lingkungan, konversi teknologi pembangkit listrik, dan kapasitas terpasang EBT yang fokus pada jaringan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, serta pemanfaatan nonlistrik/nonbiofuel seperti briket, biogas, dan pengeringan hasil pertanian. Masih berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi penyaluran bauran solar dengan 35% BBN berbasis minyak sawit atau biodiesel B35 hingga semester I/2023 belum mencapai 50% dari target 13,5 juta kiloliter. Per 6 Juli 2023, realisasi penyaluran bauran solar dengan BBN, baru mencapai 42,58% dari alokasi biodiesel program mandatori B35 yang dipatok pada angka 13,15 juta kiloliter (KL).
Terasing Akibat Energi Kotor
Nihilnya nama bank asal Indonesia dalam daftar keanggotaan aliansi perbankan emisi karbon netral alias Net Zero Banking Alliance (NZBA) dianggap sebagai indikasi lemahnya komitmen transisi energi di negeri ini. Ketidakaktifan perbankan Indonesia dalam kampanye kelompok bank pendukung energi bersih itu pun menuai kritik dari ekonom dan pegiat lingkungan. Menurut mereka, pelaku keuangan dunia akan melihat Indonesia ragu-ragu membatasi pembiayaan untuk energi berbasis fosil. Beranggotakan 132 bank dari 41 negara, NZBA bergerak di bawah bendera Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang merupakan kumpulan institusi keuangan global yang berkomitmen menyokong target emisi netral pada 2050. Mudahnya, NZBA merupakan GFANZ untuk kategori perbankan yang total asetnya tercatat mencapai US$ 74 triliun atau mewakili 41 persen dari total aset perbankan sejagat.
Aliansi bank yang terbentuk pada April 2021 ini digerakkan oleh Inisiatif Keuangan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau The United Nations Environment Programme Finance Initiative (UNEPFI), serta diakreditasi oleh Race to Zero, kampanye PBB untuk pemulihan karbon. Para anggota NZBA umumnya sudah menetapkan target kerja jangka menengah, maksimal hingga 2030, untuk meniadakan pinjaman dan investasi ke sektor energi yang bertentangan dengan hasil Kesepakatan Iklim Paris pada 2016. Peneliti dari Senik Centre Asia, Andri Prasetiyo, mengatakan tenggat pemutusan dana ke sektor energi kotor itulah yang menghalangi masuknya bank-bank Tanah Air ke NZBA. Sampai saat ini, kata dia, belum ada perbankan nasional yang secara tegas merencanakan penghentian kredit usaha ataupun investasi ke sektor batu bara sebagai komoditas fosil utama. (Yetede)
Setengah Hati Menjauhi Batu Bara
Langkah lima bank nasional membiayai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan smelter aluminium milik PT Adaro Energy Indonesia Tbk menuai sorotan dari para pegiat lingkungan dan ekonom. Musababnya, pembiayaan tersebut dianggap tidak sejalan dengan komitmen transisi energi yang tengah gencar disuarakan secara global. "Banyak perbankan global tidak lagi mendanai proyek PLTU. Tapi perbankan nasional belum membatasi pembiayaan terhadap aset batu bara," ujar juru kampanye Market Forces, Nabilla Gunawan, kepada awak media, kemarin. Lima bank yang membiayai proyek PLTU Adaro tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), dan Bank Permata. Mereka meneken perjanjian pada 12 Mei 2023 untuk pembangunan PLTU sebesar 1,1 gigawatt yang akan memasok listrik ke smelter aluminium milik Adaro di Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara.
Berdasarkan penelitian Market Forces, lima bank itu akan mengucurkan dana sekitar US$ 1,75 miliar melalui pinjaman sindikasi kepada Adaro. Rinciannya, Mandiri menyalurkan kredit US$ 585 juta, BRI US$ 450 juta, BNI US$ 350 juta, BCA US$ 270 juta, dan Bank Permata US$ 100 juta. Sebagai catatan, menurut rencana, Adaro akan membangun smelter aluminium dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun dalam tiga fase. PLTU batu bara rencananya menjadi sumber energi smelter pada fase pertama dan kedua. Setelah itu, pada fase ketiga, sumber energi akan diganti dengan pembangkit listrik tenaga air yang tengah dibangun.
"Tapi muncul pertanyaan, karena rata-rata umur hidup PLTU itu 30-60 tahun, apakah benar akan diganti dengan PLTA atau dilanjutkan penggunaannya?" ujar Nabilla. Ia memperkirakan proyek tersebut menyebabkan emisi karbon sebesar 5,2 juta ton CO2 ekuivalen per tahun. Soal pembiayaan tersebut, Kepala Komunikasi Korporat Adaro Energy Indonesia, Febriati Nadira, mengatakan perseroan terikat perjanjian kerahasiaan dengan institusi keuangan. Namun ia mengatakan pembiayaan tersebut akan digunakan untuk program penghiliran mineral yang digadang-gadang pemerintah. "Dalam tahapan proses produksi dan pengembangan selanjutnya, smelter aluminium Adaro ini juga akan memanfaatkan energi baru dan terbarukan dari pembangkit listrik tenaga air dengan standar konstruksi modern yang ramah lingkungan," ujarnya. (Yetede)
Jalan Terjal Target Nol Emisi Karbon
Tantangan beragam yang menahan laju percepatan pengurangan emisi karbon di Indonesia, tidak membuat gentar pemangku kebijakan. Pemerintah justru kian tertantang mempercepat pencapaian target net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon pada 2060. Ambisi besar pemerintah untuk mempercepat target nol emisi karbon tidak dapat dilepaskan dari sumber daya alam khususnya gas yang dimiliki Indonesia. Melalui modal besar berupa potensi energi, tidak menutup kemungkinan target nol emisi karbon dapat tercapai 10 tahun lebih cepat yakni pada 2050. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), emisi di sektor energi Indonesia pada 2021 mencapai sebesar 530 juta ton CO2e. Puncak emisi diproyeksikan terjadi pada 2039 sebesar 706 juta ton CO2e. Emisi baru berkurang signifikan setelah 2040 mengikuti selesainya kontrak pembangkit fosil. Adapun, pada 2060, emisi pada pembangkit adalah nol. Sementara tingkat emisi 2060 pada skenario NZE masih sebesar 401 juta ton CO2e yang berasal dari sisi permintaaan, utamanya dari sektor industri dan transportasi. Salah satu implementasi nyata adalah menerapkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Padahal, hingga sekarang ini komoditas batu bara masih dominan dalam bauran energi. Masih berdasarkan data Kementerian ESDM, 60% sumber energi listrik di Tanah Air berasal dari batu bara. Hal ini bakal menambah pekerjaan rumah jika pemanfaatan teknologi belum dapat meredam emisi sesuai dengan target pemerintah. Di sinilah upaya pengawalan transisi energi dari penggunaan energi fosil ke ramah lingkungan menjadi penting.
PASOKAN ENERGI NASIONAL : Gas Bumi Butuh Lebih Banyak Pembeli
Nurwahidi, Kepala Perwakilan SKK Migas Wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabanusa), mengatakan produksi gas bumi di Jawa Timur telah mencapai 747 MMscfd, sedangkan penyerapannya baru 564 MMscfd. Artinya, masih ada kelebihan pasokan sekitar 25%. Untuk menyiasati hal itu, industri di Jawa Timur harus beralih dari batu bara dan BBM ke gas agar penyerapan komoditas tersebut bisa optimal. “Industri mungkin masih belum siap untuk menggunakan gas dalam proses produksinya, tetapi sebenarnya harga gas lebih murah 30%—40% dari harga BBM,” katanya, Rabu (5/7). SKK Migas sendiri terus berupaya untuk mempertemukan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan para pembeli potensial agar penyerapan gas bumi di wilayah Jabanusa bisa lebih maksimal, seiring dengan tambahan produksi dari proyek Jambaran Tiung Biru, Sampang, dan Lapangan MAC di Sumenep. Secara terpisah, SKK Migas juga memastikan bakal memasok gas bumi untuk kebutuhan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Di Nusantara, gas bumi akan digunakan sebagai sumber energi periode transisi, sebelum sepenuhnya menggunakan energi baru terbarukan (EBT). “Gas bumi sebagai energi transisi masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri dan rumah tangga di sekitar IKN,” kata Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf.
Harga Elpiji Nonsubsidi Turun
PT Pertamina (Persero) menurunkan harga elpiji nonsubsidi 5,5 kg dan 12 kg sesuai tren dan mekanisme harga kontrak. Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, Selasa (4/7/2023), menyampaikan, per 26 Juni 2023, harga isi ulang produk Bright Gas 5,5 kg turun Rp 4.000 per tabung. Adapun harga isi ulang produk Bright Gas 12 kg turun Rp 9.000 per tabung, menjadi Rp 204.000 per tabung dari sebelumnya Rp 213.000. Sementara itu, harga elpiji bersubsidi 3 kg tidak berubah. (Yoga)
Pilihan Editor
-
KKP Genjot Revitalisasi Tambak Udang Tradisional
23 Feb 2022 -
Minyak Goreng, Wajah Kemanusiaan Kita
24 Feb 2022