Energi
( 489 )Antusias Menyambut Bursa Karbon
Antusias Menyambut Bursa Karbon
Antusias Menyambut Bursa Karbon
Antusias Menyambut Bursa Karbon
Subsidi Energi Naik di Tahun Politik
ENERGI BARU TERBARUKAN : GEOTERMAL BUTUH UPAYA MAKSIMAL
Mengungkit Minat Investor Energi Hijau
Upaya pemerintah untuk mengakselerasi pemanfaatan energi baru terbarukan atau EBT mendapatkan titik terang. Rencana PT PLN (Persero) untuk memperbesar porsi pembangkit listrik berbasis energi hijau mendapatkan respons positif dari para pelaku bisnis. Kondisi ini digadang-gadang dapat mempercepat proses substitusi bahan bakar fosil ke energi hijau khususnya di sektor kelistrikan Indonesia. Selama ini, investor kurang menaruh minat untuk menanamkan modal di Indonesia karena lokasi pengembangan EBT yang berada di daerah terpencil, dan harga jual listrik dari sumber energi hijau masih belum ekonomis. Padahal, nilai investasi untuk energi hijau sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total kapasitas dari pembangkit listrik di Tanah Air mencapai 72 gigawatt (GW), di mana 38 GW menggunakan batu bara. Tentu saja, karena rendahnya minat investor untuk berinvestasi di sektor energi hijau membuat pemerintah mencari berbagai cara mengurai tantangan tersebut. Mulai dari opsi pemberian insentif, kemudahan perpajakan, dan kebijakan yang ramah investasi energi hijau. Dari sedemikian banyaknya insentif yang diberikan pemerintah, ternyata revisi Rencana usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021—2030 yang dilakukan PLN mendapatkan perhatian lebih. Penambahan EBT dalam RUPTL baru yang tengah dirancang bersama Kementerian ESDM itu mencapai 60 gigawatt (GW), dan sisanya berasal dari pembangkit listrik berbasis gas. Masih berdasarkan data Kementerian ESDM, dalam RUPTL ini, total pembangkit EBT yang akan dibangun sebesar 20.923 MW. Hingga saat ini, tercatat jumlah Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) EBT yang beroperasi sebesar 737 MW (3,5%), dan memasuki tahap konstruksi sebesar 5.259 MW (25,1%). Tak hanya di situ, Kementerian ESDM juga melakukan pembangunan infrastruktur EBT melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) khususnya ditujukan untuk memberikan akses listrik pada daerah terpencil.
Pertamina Geothermal Cari Pendanaan Hijau Rp 23 Triliun
JAKARTA,ID-PT Pertamina Geothermal Tbk (PGEO) terus menggali potensi pendanaan hijau (green financing) untuk memperkuat kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP). Perseroan ditaksir memerlukan total pendanaan sekitar US$ 1,5 miliar atau setara Rp23 triliun. Pertamina Geothermal atau lebih dikenal dengan PGE, santer dikabarkan tengah melobi lembaga perbankan untuk memperoleh pinjaman (loan) bersifat berkelanjutan (Enveronmental Social Governance/ESG) sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp15,3 triliun. Bukan hanya itu, anak usaha PT Pertamina ini juga akan menerbitkan obligasi hijau (green bonds) senilai US$ 500 juta atau setara dengan Rp7,6 triliun. Direktur Keuangan Pertamina Georhermal Nelwin Ardiansyah menjelaskan, green bonds itu bertujuan untuk memperkuat kapasitas produksi panas bumi terpasang sebesar 350 megawatt dalam dua tahun kedepan. PGEO tengah berambisi menjadi operator panas bumi terbesar di Indonesia dan kedua di Asia dengan kapasitas produksi mencapai 1 gigawatt. Sampai saat ini, Nelwin menyebut, Pertamina Geothermal sudah memiliki kapasitas terpasang sebesar 672 megawatt dan akan meningkat menjadi 1 gigawatt. (Yetede)
SATU JALUR ENERGI ASEAN
Ambisi net zero emissions kawasan Asia Tenggara membuat Asean Power Grid menjadi urgen untuk segera diimplementasikan. Interkoneksi jaringan kelistrikan lintas negara tersebut diyakini bisa meningkatkan ketahanan energi yang berkelanjutan.Hal tersebut sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan atau EBT di sejumlah negara.Indonesia yang memegang keketuaan Asean pada tahun ini pun terus mendorong implementasi Asean Power Grid dengan menjadikannya sebagai salah satu pilar dari program di sektor energi, sesuai dengan Asean Plan of Action for Energy Cooperation 2016—2025.Dalam beberapa kesempatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyinggung secara langsung interkoneksi antarnegara Asia Tenggara sebagai bentuk dari tujuan Asean dalam menjaga ketahanan energi yang berkelanjutan guna mendukung keamanan energi untuk mendukung pertumbuhan kawasan.Otoritas energi nasional tersebut memproyeksikan Asean Power Grid dapat menghubungkan berbagai sumber daya energi, termasuk EBT yang ada di Indonesia. Keberadaan proyek tersebut juga bakal membuka potensi industri ramah lingkungan dan pangsa pasar permintaan energi yang lebih luas.
Gayung bersambut, PT PLN (Persero) sebagai badan usaha milik negara atau BUMN di sektor ketenagalistrikan tengah mendesain dan membangun Green Enabling Super Grid yang bisa digunakan untuk mendukung pembangunan Asean Power Grid.Keberadaan Green Enabling Super Grid tersebut diharapkan bisa mengatasi ketidaksesuaian lokasi sumber EBT dengan pusat demand listrik, dan mengakomodasi penetrasi variabel EBT yang sangat masif.Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, mengatakan Green Enabling Super Grid bisa digunakan untuk menghubungkan transmisi lintas negara di Asean, mulai dari Laos, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
“Super grid ini juga menyelesaikan problem intermitensi. Variable Renewable Energy di Indonesia akan meningkat dari sebelumnya 8 GW [gigawatt] menjadi 28 GW, dan peningkatan pembangkit EBT sebesar 75% dari sebelumnya 22 GW (business as usual) menjadi 60 GW,” ucap Darmawan.
Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan bahwa Asean Power Grid dapat meningkatkan kolaborasi antarnegara Asean.“Kita berkumpul di sini untuk membangun masa depan kita yang lebih terkoneksi, lebih makmur, dan berkelanjutan untuk Asean dan Indo-Pasifik," katanya.
Siap-Siap, 99 PLTU Bakal Meramaikan Bursa Karbon
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kesiapannya mengawasi proses perdagangan bursa karbon. Dalam perdagangan perdana, akan ada 99 PLTU yang berpartisipasi.
Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK menyebut, penyelenggaraan perdana unit karbon di bursa karbon ditargetkan akan dieksekusi pada akhir September 2023.
OJK telah menerbitkan Peraturan OJK No14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Beleid ini akan mendukung penyelenggaraan perdagangan karbon melalui bursa karbon.
"Ini diperlukan untuk mewujudkan tujuan perdagangan karbon di Indonesia, yaitu memberikan nilai ekonomi atas unit karbon ataupun atas setiap upaya pengurangan emisi karbon," jelas Hasan, dalam keterangan resmi, Senin (4/9).
Dalam penyelenggaraan perdana bursa karbon akan ada 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara, yang berpotensi ikut dalam perdagangan karbon. Jumlah tersebut setara dengan 86% dari total PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia.
Selain subsektor pembangkit listrik, perdagangan karbon di Indonesia juga akan dimeriahkan sektor lain, seperti kehutanan, perkebunan, migas dan gas (migas), industri umum, dan sebagainya.
Penyelenggara pasar bursa karbon juga yang telah memiliki izin usaha sebagai penyelenggara bursa karbon dari OJK. Untuk menjadi penyelenggara bursa karbon, perusahaan wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 100 miliar.
Pilihan Editor
-
Melawan Hantu Inflasi
10 Mar 2022 -
Krisis Ukraina Meluber Menjadi ”Perang Energi”
10 Mar 2022 -
Ekspor Sarang Walet Sumut Tembus Rp 3,7 Triliun
24 Feb 2022