;
Tags

Pajak

( 1516 )

Independensi BI Jangan Dilemahkan oleh Revisi UU P2SK

KT3 13 Mar 2025 Kompas (H)

Komisi XI DPR tengah dalam proses revisi UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau P2SK. Proses  legislasi merupakan buntut putusan MK tentang pengelolaan Lembaga Penjamin Simpanan. Namun, ditemukan indikasi adanya usulan tambahan terkait peran Bank Indonesia. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mengonfirmasi bahwa revisi beleid tersebut akan mengikuti putusan judicial review MK yang menyatakan bahwa Menkeu tidak dapat mengintervensi penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) LPS.

”Jadi revisi terbatas karena itu perintah MK, tidak ada (fokus pembahasan) yang lain,” kata Misbakhun, Rabu (12/3). Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002-2011, Yunus Husein mengatakan, Ia diminta oleh Komisi XI untuk memberikan masukan terkait peran dan fungsi BI yang dimandatkan UU P2SK, dalam rapat dengar pendapat umum yang berlangsung Selasa (11/3). ”Dengan landasan hokum UU P2SK, BI bisa ikut burden sharing, penggelontoran likuiditas yang namanya quantitative easing, dan bisa beli surat berharga negara di pasar perdana. Itu semua sebenarnya sudah menyimpang dari UU BI yang asli (UU No 23/1999 tentang BI),” ujarnya. (Yoga)

Gugatan Agar Pidana Pengganti Sesuai Kerugian Negara

KT3 13 Mar 2025 Kompas

Setelah diguncang kasus korupsi dengan kerugian negara hingga Rp 300 triliun, PT Timah Tbk menggugat UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi. BUMN itu meminta MK mengubah ketentuan mengenai pidana uang pengganti agar disesuaikan dengan nilai kerugian negara akibat korupsi, bukan harta yang dikuasai akibat rasuah, seperti yang saat ini diatur dalam UU No 31/1999. Uji materi UU Pemberantasan Tipikor itu diajukan setelah PT Timah melihat pidana uang pengganti yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus korupsi tata kelola timah 2015-2022 tidak sebanding dengan kerugian negara akibat korupsi itu yang mencapai Rp 271 triliun. Pengadilan tingkat pertama hanya menjatuhkan pidana uang pengganti kepada 10 terdakwa sebesar Rp 25,498 triliun.

Hal ini berarti pidana uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan tidak cukup untuk mengembalikan kerugian negara. Putusan hakim itu sebenarnya sesuai Pasal 18 Ayat (1) Huruf b UU No 31/1999. Pasal itu mengatur, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. ”Akibat penerapan Pasal 18 Ayat (1) Huruf b UU Tipikor tersebut menjadi tidak adanya keadilan dan kepastian hukum karena para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal di wilayah IUP pemohon I, yaitu Rp 271.069.688.700,” kata pemohon yang diwakilkan oleh Firdaus Dewilmar dan I Wayan Riana, Rabu (12/3). (Yoga)

Penerimaan Pajak di Ujung Tanduk

HR1 13 Mar 2025 Bisnis Indonesia (H)

Laporan realisasi APBN 2025 pada Januari menunjukkan penurunan signifikan dalam penerimaan pajak, dengan penurunan sebesar 41,9% YoY, yang disebabkan oleh masalah dalam penerapan sistem administrasi pajak baru, Coretax. Hal ini mengakibatkan penerimaan pajak hanya mencapai Rp88,89 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa jenis pajak, seperti PPh 21 dan PPh badan, mengalami penurunan yang cukup besar, bahkan lebih dari 40%. Meskipun demikian, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengonfirmasi bahwa data ini benar adanya, namun ia meminta publik menunggu konferensi pers untuk penjelasan lebih lanjut.

Prianto Budi Saptono, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa masalah implementasi Coretax menjadi penyebab utama penurunan tersebut, karena banyak wajib pajak yang mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran dan proses administrasi pajak. Namun, dia meyakini bahwa performa penerimaan pajak akan pulih pada bulan-bulan berikutnya, seiring dengan adanya kelonggaran yang diberikan oleh Ditjen Pajak.

Sementara itu, meskipun penerimaan pajak mengalami kontraksi, belanja negara hanya turun tipis 1,8%, yang menyebabkan defisit anggaran mencapai Rp23,5 triliun, atau 0,1% terhadap produk domestik bruto. Satria Sambijantoro dari Bahana Sekuritas menilai bahwa defisit ini sesuai dengan ekspektasi pasar, yang dipengaruhi oleh masalah yang bersifat sementara terkait dengan Coretax dan efisiensi anggaran.



Independensi BI dalam Sorotan DPR

HR1 13 Mar 2025 Kontan (H)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Undang-Undang (UU) No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) secara cepat. Revisi ini dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pasal terkait Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) inkonstitusional secara bersyarat, sehingga anggaran LPS tidak lagi berada di bawah persetujuan Menteri Keuangan. Hal ini membuat LPS sejajar dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam struktur kelembagaan.

Namun, muncul spekulasi bahwa revisi UU PPSK tidak hanya terkait LPS, melainkan juga menyangkut independensi BI. Ada wacana agar BI berada di bawah kendali pemerintah dan turut mendanai program pemerintah, seperti pembangunan 3 juta rumah, dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer, sesuatu yang saat ini hanya bisa dilakukan di pasar sekunder.

Pembahasan revisi ini dilakukan secara tertutup oleh Komisi XI DPR, yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, dan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit. Bahkan, telah dibentuk Panitia Kerja (Panja) yang diketuai oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohammad Hekal. Namun, Hekal menegaskan bahwa revisi hanya berkaitan dengan putusan MK dan tetap menjaga independensi BI.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan pakar seperti Mantan Kepala PPATK Yunus Husein dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Budi Frensidy, dibahas bahwa Pasal 7 UU PPSK memberi BI multiple target, yang membuka peluang intervensi. Peneliti CSIS Riandy Laksono memperingatkan bahwa jika independensi BI terganggu, stabilitas ekonomi bisa terancam, karena kebijakan makro menjadi kurang kredibel. Ia mencontohkan krisis keuangan berkepanjangan di Argentina akibat tekanan politik terhadap bank sentralnya.

Revisi UU PPSK harus diawasi dengan ketat agar tidak melemahkan independensi BI, yang saat ini berperan dalam menjaga inflasi dan stabilitas ekonomi.

Setoran Pajak Awal Tahun Jeblok, Ekonomi Melambat

HR1 13 Mar 2025 Kontan
Pada awal tahun 2025, realisasi penerimaan pajak dalam APBN mengalami penurunan drastis, hanya mencapai Rp 88,89 triliun di Januari, atau anjlok 41,86% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 152,89 triliun. Kementerian Keuangan (Kemkeu) dalam laporan APBN KiTa Februari 2025 menyebutkan bahwa realisasi penerimaan pajak baru mencapai 4,06% dari target APBN 2025 sebesar Rp 3.005,13 triliun.

Penurunan terbesar terjadi pada pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang turun 57,38%, serta pajak penghasilan (PPh) migas yang merosot 38,91%. Namun, pajak bumi dan bangunan (PBB) serta pajak lainnya justru melonjak 174,07% karena adanya ketentuan baru terkait deposit pajak.

Secara keseluruhan, pendapatan negara di Januari 2025 turun 28,27% menjadi Rp 157,3 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp 180,77 triliun, menyebabkan defisit APBN Rp 23,45 triliun atau 0,10% terhadap PDB, berbanding terbalik dengan surplus Rp 35,12 triliun di Januari 2024.

Risiko pelebaran defisit semakin nyata. David Sumual, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), menilai kinerja APBN sejauh ini masih sesuai ekspektasi, tetapi data ekonomi menunjukkan tren negatif, seperti deflasi selama dua bulan berturut-turut, penurunan indeks keyakinan konsumen (IKK), serta kontraksi indeks penjualan riil (IPR).

Sementara itu, Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, memperkirakan shortfall penerimaan negara bisa mencapai Rp 300 triliun–Rp 400 triliun, yang otomatis memperlebar defisit APBN hingga mendekati Rp 800 triliun atau sekitar 3% dari PDB jika tidak ada langkah koreksi fiskal yang konkret. Angka ini bahkan lebih buruk dari prediksi Goldman Sachs yang memperkirakan defisit 2,9% dari PDB.

Dengan kondisi ini, pemerintah perlu segera mengambil langkah korektif untuk menghindari pelebaran defisit yang lebih dalam dan memastikan stabilitas fiskal tetap terjaga.

Ditjen Pajak Koreksi Struktur Tarif PPN

HR1 11 Mar 2025 Kontan
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan terus menerapkan skema tarif efektif rata-rata (TER) dalam perhitungan PPh Pasal 21, sesuai PMK Nomor 168 Tahun 2023. Namun, struktur tarif dan skema pemotongan pajak ini sedang dikaji untuk penyempurnaan.

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, penyempurnaan ini bertujuan untuk mewujudkan kesederhanaan dalam pemotongan dan pelaporan pajak. Namun, skema TER tetap diberlakukan, dengan penyempurnaan yang akan datang.

Dalam skema TER, penghasilan tetap dan tidak tetap, seperti gaji, THR, dan bonus, digabungkan dalam perhitungan pajak. Akibatnya, pemotongan pajak meningkat ketika seorang karyawan menerima penghasilan tambahan, karena dihitung secara kumulatif.

Meski demikian, Ditjen Pajak menegaskan bahwa skema ini tidak menambah beban pajak karena pada Desember, pajak dihitung kembali dengan tarif PPh Pasal 17, sehingga total pajak yang dibayar dalam setahun tetap sama.

Namun, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mengkritisi skema ini karena banyak karyawan terkejut saat mengalami pemotongan pajak yang besar ketika menerima THR atau bonus. Ia menilai pemotongan ini dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama saat Lebaran.

Raden menyarankan agar penghitungan pajak dikembalikan ke metode lama, di mana jika terjadi kelebihan potong, maka pengembalian pajak seharusnya dilakukan oleh negara, bukan oleh perusahaan.

Meskipun skema TER bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan pajak, masih ada kritik terkait dampaknya terhadap daya beli karyawan dan mekanisme pengembalian pajak yang dinilai kurang ideal.

Penerimaan Pajak Lesu, Ekonomi Masih dalam Tekanan

HR1 07 Mar 2025 Kontan (H)
Target penerimaan pajak 2025 menghadapi tantangan berat akibat perlambatan ekonomi dan gangguan sistem administrasi Coretax. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penurunan penerimaan di beberapa wilayah, seperti Papua, Papua Barat, dan Maluku, yang mengalami kontraksi 41,27% YoY, serta Jawa Timur yang turun 2,70% YoY. Penurunan terutama disebabkan oleh kebijakan pemusatan pembayaran pajak cabang ke pusat dan belum optimalnya implementasi Coretax.

Di sisi lain, beberapa wilayah menunjukkan pertumbuhan positif, seperti Jakarta Barat yang naik 17,05%, serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dengan kenaikan 23,40% YoY.

Menurut Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), masalah Coretax berdampak pada administrasi perpajakan, khususnya terkait faktur pajak bukti potong, sehingga menghambat pelaporan dan penyetoran pajak. Ia juga menyoroti perlambatan ekonomi sebagai faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak, dengan indikator seperti penurunan penjualan kendaraan bermotor dan semen.

Raden Agus Suparman, konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, memperingatkan bahwa penerimaan pajak akan terus mengalami tekanan jika masalah Coretax tidak segera diatasi.

Secara keseluruhan, dengan target penerimaan pajak Rp 2.189,31 triliun dan pertumbuhan 13,27%, pemerintah perlu segera menyelesaikan kendala administrasi serta mendorong pemulihan ekonomi agar penerimaan pajak dapat meningkat sesuai harapan.

Pemerintah Longgarkan Pajak Emas, Siapa Untung?

HR1 06 Mar 2025 Kontan
Pemerintah berencana memberikan stimulus bagi industri emas untuk mendorong pertumbuhan sektor bullion dan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif. Salah satu langkah yang diambil adalah sinkronisasi aturan perpajakan, terutama terkait PPh 22 atas transaksi penjualan emas antara produsen dan bullion bank.

Menurut Raden Agus Suparman, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, regulasi perpajakan terhadap emas sudah diatur dalam PMK Nomor 48 Tahun 2023. Dalam aturan ini, emas batangan untuk cadangan devisa negara tidak dikenakan PPN, sementara pembelian untuk kepentingan lain tetap dikenakan pajak dengan beberapa insentif.

Raden menilai, bullion bank yang mulai beroperasi pada Februari 2025 seharusnya tidak menjadi objek PPN, karena perannya mirip dengan Bank Indonesia dalam membeli emas batangan.

Meskipun akan ada relaksasi pajak, Raden memperkirakan dampaknya terhadap penerimaan pajak tidak akan signifikan. Justru, penerimaan pajak bisa meningkat jika Ditjen Pajak bekerja sama dengan bullion bank untuk memperoleh data wajib pajak penyimpan emas, sehingga dapat mengklarifikasi kepatuhan pajak dalam SPT tahunan.

Sementara itu, Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, merekomendasikan dua opsi kebijakan. Pertama, PPh 22 atas transaksi emas dengan bullion bank harus adil agar menciptakan level playing field yang setara. Kedua, transaksi dengan bullion bank dapat dikecualikan dari PPh 22 berdasarkan diskresi yang dimiliki Menteri Keuangan.

Meskipun sinkronisasi pajak diharapkan dapat meningkatkan daya tarik investasi emas, efektivitasnya bergantung pada kerja sama pemerintah dengan industri bullion serta pemantauan kepatuhan pajak.

Pemerintah Longgarkan Pajak Emas, Siapa Untung?

HR1 06 Mar 2025 Kontan
Pemerintah berencana memberikan stimulus bagi industri emas untuk mendorong pertumbuhan sektor bullion dan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif. Salah satu langkah yang diambil adalah sinkronisasi aturan perpajakan, terutama terkait PPh 22 atas transaksi penjualan emas antara produsen dan bullion bank.

Menurut Raden Agus Suparman, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, regulasi perpajakan terhadap emas sudah diatur dalam PMK Nomor 48 Tahun 2023. Dalam aturan ini, emas batangan untuk cadangan devisa negara tidak dikenakan PPN, sementara pembelian untuk kepentingan lain tetap dikenakan pajak dengan beberapa insentif.

Raden menilai, bullion bank yang mulai beroperasi pada Februari 2025 seharusnya tidak menjadi objek PPN, karena perannya mirip dengan Bank Indonesia dalam membeli emas batangan.

Meskipun akan ada relaksasi pajak, Raden memperkirakan dampaknya terhadap penerimaan pajak tidak akan signifikan. Justru, penerimaan pajak bisa meningkat jika Ditjen Pajak bekerja sama dengan bullion bank untuk memperoleh data wajib pajak penyimpan emas, sehingga dapat mengklarifikasi kepatuhan pajak dalam SPT tahunan.

Sementara itu, Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, merekomendasikan dua opsi kebijakan. Pertama, PPh 22 atas transaksi emas dengan bullion bank harus adil agar menciptakan level playing field yang setara. Kedua, transaksi dengan bullion bank dapat dikecualikan dari PPh 22 berdasarkan diskresi yang dimiliki Menteri Keuangan.

Meskipun sinkronisasi pajak diharapkan dapat meningkatkan daya tarik investasi emas, efektivitasnya bergantung pada kerja sama pemerintah dengan industri bullion serta pemantauan kepatuhan pajak.

PHK Massal Berimbas pada Penerimaan Pajak

HR1 05 Mar 2025 Kontan
Pemerintah menghadapi tantangan berat dalam mencapai target penerimaan pajak 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun, terutama akibat masalah sistem administrasi Coretax DJP dan kondisi ekonomi domestik yang sulit. Pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan, seperti Sritex, Sanken Indonesia, Yamaha Music, dan KFC, turut memengaruhi penerimaan pajak, terutama PPh Pasal 21 dan PPh Badan.

Menurut Prianto Budi Saptono, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dampak PHK terhadap PPh Pasal 21 tidak terlalu besar karena sebagian pekerja yang terkena PHK memiliki upah minimum dan akan menerima pesangon yang juga dikenai pajak. Sementara itu, PPh Badan juga tidak terpengaruh secara signifikan karena banyak perusahaan yang tutup sudah mengalami kerugian sebelumnya dan tidak wajib membayar pajak badan.

Fajry Akbar dari Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) menambahkan bahwa penyerapan tenaga kerja baru dan kenaikan upah dapat membantu menyeimbangkan penerimaan PPh Pasal 21. Meski demikian, PPh Pasal 21 dan PPh Badan tetap menjadi kontributor utama dalam penerimaan pajak negara. 

Sumber anonim menyebutkan bahwa penerimaan pajak Januari 2025 turun Rp 70 triliun, akibat masalah Coretax DJP dan penerapan skema tarif efektif rata-rata (TER) PPh Pasal 21.

Menurut Raden Agus Suparman, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, pemerintah perlu meninjau kembali target penerimaan pajak, terutama karena kenaikan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, sehingga tambahan penerimaan dari kebijakan ini tidak terlalu besar. Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah juga dapat menekan laju konsumsi dan memperlambat penerimaan pajak.

Realisasi target penerimaan pajak tahun ini akan sangat bergantung pada perbaikan sistem administrasi pajak dan kondisi ekonomi nasional.