;
Tags

Pasar Modal

( 326 )

Respons Negatif Pasar terhadap Danantara

KT3 26 Mar 2025 Kompas

Pengumuman struktur lengkap pengurus Danantara yang diisi banyak nama besar, sangat dikenal, kapabel, dan kredibel belum sepenuhnya bisa meyakinkan pasar, terbukti dari respons pasar yang cenderung negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia yang jeblok jelang pengumuman, bahkan menyentuh titik terendah, memang sempat rebound setelah pengumuman, tetapi akhirnya tetap ditutup melemah. Rupiah dan harga surat utang juga cenderung tertekan. Saham beberapa emiten BUMN yang diintegrasikan ke Danantara juga mengalami penurunan ketimbang hari sebelumnya. Di atas kertas, tim terlihat sangat solid, melibatkan nama-nama tokoh terkemuka nasional dan internasional, atau profesional yang sudah dikenal di pasar finansial. Termasuk para mantan presiden negara ini, sebagai dewan penasihat.

Namun, aksi jual saham tetap terjadi setelah pengumuman struktur manajemen Danantara. Masuknya mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra yang pernah terlibat kasus korupsi dan penghindaran pajak, di dewan penasihat Danantara, ikut menyumbang sentiment negatif. Kekhawatiran terkait tata kelola, pengawasan, dan potensi intervensi politik, yang ikut memicu kejatuhan IHSG pada awal peluncuran Danantara, juga masih mengemuka. Kekhawatiran ini ditepis dengan pembentukan struktur pengawasan berlapis untuk menjamin transparansi tata kelola Danantara. Ada dewan pengawas, dewan penasihat, oversight committee, pemantau, komite audit, komite investasi, komite etik, yang seluruhnya diisi tokoh terkemuka yang kredibel. Pada satu sisi, struktur ini dilihat pasar sebagai sinyal kuat  pemerintah terhadap arah masa depan ekonomi nasional.

Para pengamat, masih melihat perangkapan peran dan jabatan operator dengan regulator bisa menjadi celah kelemahan dalam pengawasan. Investor juga masih akan melihat arah kebijakan dan strategi investasi Danantara. Gebrakan pertama Danantara akan menjadi barometer penting kredibilitas lembaga ini. Dalam jangka panjang, keberadaan Danantara sebagai superholding BUMN dan sovereign wealth fund keenam terbesar dunia dengan aset kelolaan 900 miliar USD seharusnya bisa menjadi katalis positif bagi pasar dan mampu menarik investasi dalam jumlah besar ke dalam negeri untuk mendukung program-program ekonomi pemerintah. Semua masih menunggu efektivitas strategi dan aksi korporasi Danantara. (Yoga)


Reaksi Optimis Pasar Saham Eropa dan AS yang Menguat

KT1 26 Mar 2025 Investor Daily (H)

Saham berjangka AS dan Eropa dilaporkan menguat pada Selasa (25/03/2025), melanjutkan kenaikan di hari sebelumnya di tengah harapan pengenaan tarif AS yang lebih rendah. Sementara itu, nilai tukar dolar bereaksi melemah terhadap kelompok mata uang lain, dibandingkan level tertingginya dalam tiga minggu terakhir. Indeks saham Stoxx 600 Eropa naik 1% di awal perdagangan, dengan sebagan besar acuan indeks nasional berada di wilayah positif. Namun, fokus utama para investor adalah seputar tarif balasan yang dijanjikan Presiden AS, Donald Trump. Meskipun Trump mengatakan pada Senin (24/03/2025) akan segera menerapkan tarif mobil, ia mengindikasikan bahwa tidak semua tarif yang diancamkan bakal diberlakukan pada 2 April mendatang.

Bahkan beberapa negara mungkin mendapatkan keringanan. Situasi tersebut memicu reaksi risk-on masif di pasar AS, pada Senin, di mana S&P 500 ditutup menguat dalam lebih dari dua minggu, sementara reli disaham teknologi yang dipimpin oleh Nasdaq naik lebih dari 2%. Kendati tidak terlalu bergairah, reli saham digadang-gadang berlanjut pada Selasa. Sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq naik 0,2% di perdagangan Eropa. Di sisi lain, para investor mengaku masih gelisah sebelum tenggat waktu 2 April. Benoit Anne, direktur pelaksana senior di MFS Investment Management, mengatakan risiko-risiko utama adalah hal sehari-hari yang dihadapi oleh para investor global. (Yetede)


Investor Pasar Saham Agar Fokus ke Fundamental

KT1 25 Mar 2025 Investor Daily (H)

Pasar saham kembali terempas pada perdagangan Senin (24/3/2025), begitu struktur pengurus Badan pengelola Investasi (BPI) Dayanagata Nusantara (Danantara) diumumkan ke publik. Namun, sejumlah analis dan Bursa Efekndonesia (BEI) menyebut danantara bukan penyebab penurunan indeks, karena manajemen diisi kalangan professional. Analis menilai, penurunan indeks lebih disebabkan persepsi pertumbuhan Indonesia yang lebih rendah tahun ini. Selain itu,kondisi global belum kondusif dalam menopang penguatan indeks. Investor diminta fokus ke fundamental ekonomi nasional sekaligus emiten dalam berinvestasi saham, bukan ke persepsi. Berdasarkan data BEI, indeks harga saham gabungan (IHSG) turun 1,55% ke level 6.161.

Bahkan, indeks sempat merosot hingga jebol di bawah 6.000, tepatnya 5.967 pada sesi pertama. Asing kembali net sell Rp 160 miliar, sehingga akumulasinya sampai kemarin mencapai Rp 33,3 triliun sepanjang 2025. Indeks LQ45 yang berisi saham-saham likuid berkinerja baik terpangkas 17,62%. Indeks regional ditutup mixed, kemarin. Indeks FTSE Malaysia turun 0,11%, PSEi Index Filipina turun 1,1%, Strait Times Index STI Singaputa naik 0,25%, SET Thailand naik 0,29%, dan VN-Index Vietnam turun 0,15%. Indeks SSE Composite China naik 0,15%, Hang Seng 0,9%, Kospi Korea Selatan turun 0,42%, dan TSE Taiwan terpangkas 0,46%. (Yetede)


Menjaga Stabilitas di Tengah Konsolidasi Aset

HR1 25 Mar 2025 Bisnis Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan susunan pengurus Danantara sebagai entitas baru yang diharapkan dapat mengelola kekayaan negara dan konsolidasi saham BUMN, langkah ini justru memicu ketidakpastian di pasar saham. Hal ini terlihat dari fluktuasi tajam IHSG yang terjadi setelah pengumuman tersebut. Pemerintah melalui Danantara bertujuan untuk mewujudkan efisiensi lintas BUMN, namun ada beberapa kekhawatiran terkait dengan struktur dan kapabilitas pengelolaannya, terutama terkait dengan fokus bisnis PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang sempit, serta mekanisme inbreng saham yang belum jelas.

Selain itu, susunan pengurus Danantara juga mendapat sorotan terkait rekam jejak, independensi, dan potensi konflik kepentingan, terutama terkait dengan keterlibatan non-WNI dalam posisi strategis. Publik menuntut adanya urgensi nasionalisme korporat dalam pengelolaan aset negara yang tetap profesional dan modern. Meskipun konsolidasi aset diperlukan, proses ini harus dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang kuat agar tidak memperumit sistem yang ada. Pemerintah diharapkan menyusun roadmap yang jelas dan terbuka terkait Danantara untuk mengurangi ketidakpastian dan memastikan efisiensi yang diinginkan tidak berubah menjadi kompleksitas baru yang justru merugikan.

Penting bagi pemerintah untuk memberikan penjelasan substansial dan berkala kepada publik, pasar, dan pelaku usaha agar proyek ini dapat berjalan dengan baik dan tidak menambah beban pada stabilitas keuangan nasional.


Respons dan siasat para Investor Ritel menghadapi Anjloknya IHSG

KT3 24 Mar 2025 Kompas

IHSG anjlok hingga 6,12 % pada 18 Maret 2025, memicu ”trading halt”. Meski sempat pulih, pasar saham masih melemah. Berikut respons dan siasat para investor ritel menghadapi kondisi tersebut : “Penurunan IHSG belakangan ini berdampak besar pada portofolio saya. Sebulan lalu, saat Danantara dibentuk, saya menjual rugi saham bank-bank BUMN dan mengalihkan investasi ke sektor swasta. Jika tren ini berlanjut, saya akan mengamankan dana dalam bentuk tunai sambil menunggu stabilitas pasar. Setelah investor asing kembali masuk, baru saya mempertimbangkan membeli saham lagi,” ujar Nico Himawan (28), pekerja swasta di Pekalongan, Jateng.

“Saya berinvestasi saham jangka panjang, jadi saat IHSG anjlok, saya tidak cut loss dan justru menambah sedikit demi sedikit dengan strategi dollar cost averaging. Meski tren penurunan IHSG memengaruhi portofolio, saya tetap mempertahankan saham, termasuk yang fundamentalnya kurang baik, sambil diversifikasi ke aset lain, ujar Yuliana Jemie, pebisnis UMKM asal Pontianak, Kalbar. Menurut Sem (28) karyawan swasta di Jakarta, “Untuk mengantisipasi penyusutan nilai saham, saya mulai mengalihkan dana ke emas dan deposito, yang dinilai lebih aman dan menguntungkan. Ketidakpastian kebijakan setiap pergantian presiden membuat investor ragu. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang stabil dan berkelanjutan agar investor percaya, termasuk menunjukkan komitmen dengan menindak tegas koruptor.”  (Yoga)

Pasar Modal Tak Bisa Dipoles, Investor Tak Bisa Dibeli

KT3 24 Mar 2025 Kompas

Presiden Prabowo, dalam Sidang Paripurna Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (21/3) berseloroh tentang volatilitas harga saham di bursa Indonesia. Menurut dia, harga saham boleh saja naik turun, yang terpenting, pangan dan negara tetap aman. Pernyataan ini menanggapi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5 % ke level 6.073 dalam waktu kurang dari sehari pada 18 Maret 2025. Media nasional hingga media sosial memviralkan kabar ”IHSG Anjlok”, yang mengingatkan publik pada situasi serupa di awal masa pandemi Covid-19. Aksi jual oleh investor asing yang membuat pasar melemah sejak Oktober 2024 pada hari itu memuncak.

Justru di tengah tren positif pasar saham di banyak negara. Tak heran jika publik kemudian menuding faktor internal sebagai penyebab utama. Pasar yang dibangun atas dasar kepercayaan itu belakangan terusik oleh sejumlah kebijakan ekonomi dan politik pemerintahan baru. Mulai dari penambahan kementerian dan lembaga, efisiensi anggaran ASN demi program Makan Bergizi Gratis, konsolidasi aset BUMN untuk Danantara, rumor pergantian Menkeu Sri Mulyani, hingga pengesahan revisi UU TNI yang menghidupkan kembali nostalgia dwifungsi ABRI. Di sisi lain, masyarakat menengah ke bawah tengah dilanda kekhawatiran akibat penurunan pendapatan dan ancaman PHK yang semakin meluas.

Kondisi ini tecermin dalam survei Indeks Kepercayaan Konsumen oleh BI yang terus menurun sejak November dan mencapai angka 126,4 pada Februari 2025. Gejala pemburukan ekonomi juga tampak dari sisi fiskal. Hingga Februari 2025, penerimaan negara dilaporkan turun 20,85 % disbanding periode yang sama tahun sebelumnya, disebabkan merosotnya penerimaan perpajakan sebesar 30,19 % dibanding capaian dua bulan pertama tahun 2024. Ketika kondisi tersebut memperburuk kinerja IHSG, pemerintah mengklaim bahwa kondisi fiskal negara masih kuat. Pasar tidak bisa diminta untuk berpura-pura bahwa ekonomi sedang baik-baik saja ketika kenyataannya tidak demikian.

Menurut ekonom Agustinus Prasetyantoko, pasar memiliki inteligensinya sendiri. Karena itu, investor tidak bisa ”dibeli” hanya dengan narasi atau optimisme sepihak. Pelaku pasar, khususnya investor, cenderung lebih cepat dan cerdas dalam membentuk ekspektasi terhadap prospek ekonomi, membaik maupun memburuk. Tak heran jika respons pelaku sektor keuangan hampir selalu mendahului kenyataan di sektor riil. Ketika ekspektasi telah dijawab oleh realitas di lapangan, strategi membentuk persepsi positif saja tidak lagi memadai. Terlebih jika sosok kunci dalam perekonomian, seperti Presiden, justru bersikap berseberangan terhadap reaksi pasar yang telah lebih dahulu membaca kondisi riil. (Yoga)

Peraruhan untuk Stempel Layak Investasi

KT3 24 Mar 2025 Kompas (H)

Investor menilai potensi keuntungan berinvestasi di Indonesia semakin menurun. Tanpa perbaikan struktural dan pendekatan teknokratis dalam kebijakan pemerintah, berbagai risiko baru bisa muncul. Status layak investasi atau investment grade, jadi taruhan.  Demikian pesan dan aspirasi yang mengemuka pada Kompas Collaboration Forum (KCF) di Jakarta, Jumat(21/3). Komisaris Utama PT Pan Brothers Tbk Benny Soetrisno dan pengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, menjadi narasumber dalam acara bertema ”Ada Apa dengan Perekonomian Nasional?” tersebut. Prasetyantoko mengatakan, kondisi pasar keuanga domestik, terutama pasar saham, dalam beberapa waktu terakhir mengalami koreksi yang cukup dalam. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Maret 2025 turun hingga ke level 6.270 atau terkoreksi 21 % dibanding level tertingginya, 7.900 pada September 2024.

Hal itu terjadi karena, penurunan peringkat saham Indonesia oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) dan Goldman Sachs, revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dari 5 % menjadi 4,9 %. Lembaga pemeringkat tersebut memperkirakan profitabilitas emiten di Indonesia akan turun seiring outlook pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Selain itu, kebijakan pemerintah, seperti efisiensi anggaran, Danantara, dan program tiga juta rumah, dipandang dapat berdampak pada keberlanjutan fiskal ke depan. Alhasil, aliran modal asing di pasar keuangan domestic selama 17-20 Maret 2025 tercatat jual neto sebesar Rp 4,25 triliun, yang menekan nilai tukar rupiah yang cenderung bergerak dalam kisaran Rp 16.300-Rp 16.500 per USD.

Di sisi lain, investor asing masih menaruh keyakinan pada pasar obligasi negara, mengingat peringkat kredit atau sovereign credit rating Indonesia masih dipertahankan pada level investment grade alias layak investasi. ”Sudah bunyi, sinyal  di equitymarket (pasar saham). Perlu dijaga jangan sampai merembet memengaruhi soverign rating-nya. Kalau itu sampai terjadi, kemungkinan terjadinya krisis yang lebih kompleks akan lebih besar,” kata Prasetyantoko. Apabila peringkat kredit Indonesia turun, likuiditas akan semakin mengetat dan berpotensi memicu krisis ekonomi. Dengan kata lain, perkembangan dinamika di pasar keuangan akan mendahului sektor riil. (Yoga)

Stimulus Tambahan dibutuhkan

KT1 24 Mar 2025 Investor Daily (H)

Relaksasi pembelian kembali (buyback) saham tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS) tidak cukup mengangkat bursa saham Indonesia. Pasar saham membutuhkan tambahan stimulus demi menangkis efek negatif global, seperti perang dagang, ketidakpastian penurunan suku bunga, dan peningkatan konflik geopolitik. Dari dalam negeri, beberapa analis menyebutkan, prospek suram ekonomi, pelemahan rupiah, defisit APBN per Februari 2025, isu reshuffle kabinet dan kehadiran BPI Danantara memicu kecemasan di kalangan investor, sehingga mereka agresif melepas saham.

Tanpa tambahan stimulus, indeks harga saham gabungan (IHSG) dikhawatirkan merosot hingga di bawah 6.000. Kondisi ini dikhawatirkan memicu instabilitas, lantaran pelemahan indeks akibat derasnya capital outflow bisa memukul rupiah. Apalagi, belakangan ini, imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun sudah diatas 7%. Beberapa kalangan mulai bicara potensi krisis finansial, yang dimulai dari pasar saham. Sejumlah indicator pun mencuat, di antaranya pelemahan rupiah yang berkepanjangan, koreksi turun pasar saham, dan terus meningkatnya yield SBN.

Pada 8 Januari 1998, IHSG turun11,95%, lalu pada 12 Februari di tahun yang sama turun 9,27%. Selanjutnya, pada Mei 1998, rupiah melemah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.800 per US$. Inflasi kala itu melonjak jadi 77%, banyak perusahaan gulung tikar, karena tercekik pembengkakan utang akibat selisih kurs. Krisis moneter pun terjadi. Maka, dari sisi pemerintah, kebijakan yang menimbulkan ketidakpastian dan meresahkan pasar perlu segera dievaluasi. Pemerintah juga disarankan melakukan perombakan di sektor-sektor strategis guna mengembalikan kepercayaan investor, dan memberikan stimulus. (Yetede)


Belum Terbendungnya Volatilitas IHSG

KT1 22 Mar 2025 Investor Daily

Gelombang aksi pembelian kembali (buyback) saham oleh sejumlah emiten kalkap belum cukup membendung volatilitas indeks harga saharn gabungan (IHSG). Padahal sebagian besar emiten berkapitalisasi jumbo sudah menguntumkan dan melangsungkan buyback saham, misalnya, Grup Barito, Grup Alarn Tri dan deretan emiten Bank Himbara. Grup Barito menyampaikan telah menyiapkan total Rp 5 triliun untuk buyback saham TPIA, BREN, BRPT dan CUAN. Sedangkan Grup Alamn Tri mengalokasikan total Rp 4 triliun untuk melakukan buyback saham. Bahkan, Boy Thohir sudah memborong total 7,3 juta saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) secara pribadi maupun melalui perusahaan keluarganya, PT Trinugraha Thohir (TNT).

Konglomerat Prajogo Pangestu, juga sudah mengakumulasi 4,57juta saham BREN, termasuk PT PetrindoJaya Kreasi Tbk (CUAN) lewat PT Kreasi Jasa Persada yang mengakumulasi PTRO dengan total 273,84 juta saham. Transaksi buyback saham emiten Grup Barito akan terus berlanjut sebesar Rp 2 triliun untuk mengguyur saham TPIA dan BREN dan Rp 500 miliar untuk saham BRPT dan Rp 500 miliar CUAN. Emiten bank-bank BUMN seperti BBNI juga sudah ancang-ancang dengan menyiapkan Rp 1,5 triliun untuk buyback saham. BMRI menyisihkan Rp1,1 triliun dan BBRI sudah melangsungkan periode buyback saham dengan mengalokasikan dana Rp 3 triliun.

Aksi gelombang buyback, sekaligus menjadi isyarat dari para konglomerat dan emiten besar dalam menindaklanjuti kebijakan baru OJK yang mengizinkan emiten untuk melakukan buybeck tanpa perlu meminta persetujuan Rapat Umum Pernegang Saham (RUPS) sebagai upaya mengatasi kondisi pasar yang berfluktuasi signifikan. Meski stimulus OJK itu disambut meriah dengan ramainya aksi buyback oleh para emiten, namun hal tersebut belum cukup mampu membuat pasar saham bergerak stabi. Buktinya, IHSG kembah terkoreksi sebanyak 123,49 poin (1,94%) ke level 6.258,1 pada perdagangan Jumat (21/3/2025) kemarin. (Yetede)


Kepercayaan Investor Perlu Dijaga

KT3 21 Mar 2025 Kompas

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis (20/3) ditutup menguat 1,11 % ke level 6.381 dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Nilai penjualan bersih saham oleh investor asing tercatat Rp 499 miliar. Aksi jual saham oleh investor asing mulai mereda, dari Rp 2,5 triliun pada Selasa (18/3) menjadi Rp 910 miliar pada Rabu (19/3). Tekanan jual yang deras pada Selasa lalu sempat membuat IHSG terperosok hingga minus 6 % ke level 6.076 pada sesi pertama perdagangan. Akibatnya, bursa harus menghentikan perdagangan sementara atau trading halt, sesuai regulasi yang diberlakukan sejak pandemi Covid-19.

Meskipun IHSG kini berangsur pulih, pengamat pasar modal, Alfred Nainggolan, menilai, pemerintahan baru perlu memberikan perhatian lebih terhadap dinamika pasar modal. Dalam dua dekade terakhir, pasar modal Indonesia telah berkembang pesat dan menjadi pilar penting dalam pendanaan pembangunan ekonomi, berdampingan dengan sektor perbankan. Kesadaran masyarakat terhadap investasi juga semakin meningkat. ”Jangan sampai ini pupus karena pasar tidak merasakan kehadiran pemerintah,” ujarnya. Merespons koreksi pasar saham yang terjadi, pemerintah perlu bertindak cepat dalam menangani isu-isu besar terkait ekonomi, politik, dan pasar modal. Penurunan harga saham yang signifikan mencerminkan kekhawatiranpasar terhadap stabilitas ekonomi dan politik. (Yoga)