Pasar Modal
( 326 )Pasar Saham Berharap Pemangkasan Suku Bunga
Pasar Finansial Lega Dengan Keputusan The Fed
Para investor merasa sedikit lega dengan pendekatan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang memutuskan menunggu dan melihat perkembangan menyusul agresivitas Presiden AS, Donald Trump dalam menjalankan kebijakan-kebijakan tarifnya. Sejak kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari 2025, kebijakan tarif Trump membuat pasar saham ketakutan dan merusak kepercayaan konsumen serta pelaku usaha. Menghadapi realitas baru itu, para investor berusaha menyeimbangkan harapan akan agenda-agenda probisnis, deregulasi, dan pajak yang lebih rendah, dengan ketakutan akan perang dagang dan potensi resesi ekonomi.
Sementara para pembuat kebijakan di bank sentral AS mengisyaratkan sikap hati-hati. Usai pertemuan kebijakan dua hari, pada Rabu (19/03) siang waktu setempat, The Fed mempertahankan suku bunga acuan, tetapi mengakui bahwa risiko terhadap pertumbuhan dan inflasi telah naik. Keputusan The Fed ini tetap memberi ketidakpastian bagi para pelaku pasar. Sementara pemangkasan suku bunga secara umum akan membantu perekonomian, khususnya dalam situasi perang tarif Trump sekarang. Namun, kelegaan yang ditunjukkan pasar finansial adalah karena The Fed juga mempertahankan perkiraan untuk memangkas suku bunga acuan, setidaknya sebanyak dua kali tahun ini.
Hanya saja, bank sentral tetap ragu memperkirakan lonjakan inflasi apakah bertahan lama atau ekonomi akan terpukul secara signifikan akibat tarif Trump. Gubernur The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers menekankan bahwa ketidakpastian masih tinggi. “The Fed menyesuaikan dengan risiko-risiko ekonomi," kata Josh Emanuel, kepala investasi di Wilshire, seperti dikutip Reuters, Kamis (20/03/2025). Selepas keputusan The Fed itu, pasar berjangka di AS pada Rabu menunjukkan para investor memperkirakan penurunan suku bunga acuan sebesar 68 basis poin tahun ini, naik dari 56 basis poin atau lebih dari dua kali penurunan sebesar 25 basis poin, pada hari sebelum The Fed mengeluarkan keputusannya. (Yetede)
Di Tengah Gejolak Pasar, Perusahaan Besar Tetap Optimistis Melakukan IPO
Pelemahan pasar saham saat ini
memberikan tantangan bagi saham-saham yang baru melakukan penawaran saham
perdana atau IPO di 2025. Meskipun kondisi pasar melemahkan aktivitas IPO,
sejumlah perusahaan beraset besar tetap percaya diri mencari pendanaan di
bursa. Sebanyak 10 emiten baru mewarnai pasar modal Indonesia sejak awal tahun
sampai 15 Maret 2025. Sepuluh perusahaan itu mampu menghimpun dana dari IPO
sebesar Rp 3,88 triliun. Di antara mereka, ada dua perusahaan yang mampu
menggalang dana jumbo, yakni PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) dan PT Raharja
Energi Cepu Tbk (RATU), masing-masing Rp 0,62 triliun dan Rp 2,3 triliun.
Pengamat pasar modal Alfred
Nainggolan, Jumat (14/3) di Jakarta, menilai, terjadi tren penurunan jumlah
korporasi yang melakukan IPO. Jumlah pencatatan saham baru dan penghimpunan
dana IPO jauh lebih besar pada periode sama di 2024 dengan 19 perusahaan yang
mampu menghimpun dana hingga Rp 3,4 triliun. Bahkan, pada 2023 lebih banyak
lagi, dengan 27 perusahaan yang mampu menggalang dana Rp 12,4 triliun. Saat
ini, menurut dia, memang bukan momentum positif untuk IPO karena pasar saham
tengah berada di tren penurunan atau bearish. Namun, kondisi ini tidak
mengurungkan niat perusahaan beraset besar untuk melanjutkan penawaran saham perdana
di pasar modal.
Data BEI per akhir Februari menunjukkan,
ada 24 perusahaan yang mengantre untuk melantai di bursa. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 23 perusahaan beraset besar atau di atas Rp 250 miliar. Alfred
menilai, IPO saat ini tidak terlalu menantang bagi perusahaan beraset besar karena
mereka punya kemampuan lebih besar untuk mengapitalisasi pasar dan memperoleh
dana. Hal ini akan sejalan dengan valuasi dan tingginya harga IPO mereka. ”Selain
itu, perusahaan yang sudah memiliki anchor investor saat IPO tidak terlalu
mempertimbangkan kondisi pasar mengingat sudah ada kesepakatan dalam
penyerapannya,” kata Alfred. (Yoga)
Di Tengah Gejolak Pasar, Perusahaan Besar Tetap Optimistis Melakukan IPO
Pelemahan pasar saham saat ini
memberikan tantangan bagi saham-saham yang baru melakukan penawaran saham
perdana atau IPO di 2025. Meskipun kondisi pasar melemahkan aktivitas IPO,
sejumlah perusahaan beraset besar tetap percaya diri mencari pendanaan di
bursa. Sebanyak 10 emiten baru mewarnai pasar modal Indonesia sejak awal tahun
sampai 15 Maret 2025. Sepuluh perusahaan itu mampu menghimpun dana dari IPO
sebesar Rp 3,88 triliun. Di antara mereka, ada dua perusahaan yang mampu
menggalang dana jumbo, yakni PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) dan PT Raharja
Energi Cepu Tbk (RATU), masing-masing Rp 0,62 triliun dan Rp 2,3 triliun.
Pengamat pasar modal Alfred
Nainggolan, Jumat (14/3) di Jakarta, menilai, terjadi tren penurunan jumlah
korporasi yang melakukan IPO. Jumlah pencatatan saham baru dan penghimpunan
dana IPO jauh lebih besar pada periode sama di 2024 dengan 19 perusahaan yang
mampu menghimpun dana hingga Rp 3,4 triliun. Bahkan, pada 2023 lebih banyak
lagi, dengan 27 perusahaan yang mampu menggalang dana Rp 12,4 triliun. Saat
ini, menurut dia, memang bukan momentum positif untuk IPO karena pasar saham
tengah berada di tren penurunan atau bearish. Namun, kondisi ini tidak
mengurungkan niat perusahaan beraset besar untuk melanjutkan penawaran saham perdana
di pasar modal.
Data BEI per akhir Februari menunjukkan,
ada 24 perusahaan yang mengantre untuk melantai di bursa. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 23 perusahaan beraset besar atau di atas Rp 250 miliar. Alfred
menilai, IPO saat ini tidak terlalu menantang bagi perusahaan beraset besar karena
mereka punya kemampuan lebih besar untuk mengapitalisasi pasar dan memperoleh
dana. Hal ini akan sejalan dengan valuasi dan tingginya harga IPO mereka. ”Selain
itu, perusahaan yang sudah memiliki anchor investor saat IPO tidak terlalu
mempertimbangkan kondisi pasar mengingat sudah ada kesepakatan dalam
penyerapannya,” kata Alfred. (Yoga)
Indeks Saham Tertekan, Kepercayaan Investor Memudar
Goldman Sachs Mengingatkan akan Adanya Peningkatan Risiko Fiskal
Setelah Morgan Stanley menurunkan peringkat saham Indonesia dari equal-weight (EW) menjadi underweight bulan lalu, Goldman Sachs memangkas peringkat saham Indonesia dari underweight menjadi market weight. Goldman Sachs memperkirakan adanya peningkatan risiko fiskal atas sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo. Penurunan peringkat tersebut memberi pukulan bagi pasar saham Indonesia yang terkoreksi dalam hingga 6.270 dan mencatatkan aksi jual bersih (net sell) asing Rp 23,22 triliun sejak awal tahun 2025. Mengingat, rekomedasi keduanya biasanya menjadi rujukan investor asing dalam membenamkan investasinya.
Bloomberg, Senin (10/3/2025) juga menurunkan rekomendasi atas surat utang yang diterbitkan BUMN untuk tenor 10 sampai 20 tahun menjadi netral. Penurunan peringkat itu terjadi setelah Goldman Sachs menaikkan proyeksi defisit fiskal Indonesia dari semula 2,5% menjadi 2,9% dari PDB. Penurunan peringkat tersebut, memberi tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang ditutup melemah 0,57% ke level 6.598,21 pada perdagangan Senin (10/3/2025). Investor asing mencatatkan net sell Rp 843,43miliar pada perdagangan kemarin,dan Rp 23,22 triliun sejak awal tahun 2025. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dan kondisi pasar keuangan domestik.
“Penurunan peringkat pasar saham Indonesia oleh MSCI dan GoldmanSachs dari overweight menjadi marketweight mencerminkan kekhawatiran investor global terhadap daya tarik pasar domestik,"kata Pendiri Stocknow.id Hendra Wardana, Senin (10/3/2025). Faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah ketidakpastian ekonomí global, dampak perang dagang AS-China, serta perlambatan konsumsi dalam negeri yang terlihat dari penurunan penjualan kendaraan bermotor. Tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan kenaikan suku bunga global juga menambah beban ekonomi domestik. Ketidak-pastian kebijakan dalam negeri dan volatilitas pasar membuat investor lebih berhati-hati. Untuk mengembalikan kepercayaan asing terhadap pasar saham Indonesia, regulator dan pemerintah perlu mengambil langkah konkret. (Yetede)
Investor Asing Kembali Lirik Pasar Keuangan Indonesia
Gejolak pasar keuangan yang ditandai tertekannya nilai tukar dan amblesnya pasar saham perlahan mulai kondusif seiring masuknya kembali aliran modal asing. Kendati demikian, dinamika pasar keuangan global tetap perlu diwaspadai dengan tetap menjaga sentimen positif dari sisi domestik. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, Minggu (9/3) mengatakan, investor asing mulai kembali masuk ke pasar keuangan domestik, sepekan terakhir dengan mencatatkan beli neto Rp 8,99 triliun.
Ini mencerminkan perbaikan kepercayaan investor terhadap aset keuangan Indonesia, termasuk nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan data transaksi 3-6 Maret 2025, investor asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 8,99 triliun di pasar keuangan domestik, terdiri dari beli neto di pasar saham sebesar Rp 0,34 triliun dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 9,53 triliun, serta jual neto di Sekuritas Rupiah BI (SRBI) sebesar Rp 0,88 triliun. ”Terlihat dari stabilnya nilai tukar rupiah di kisaran Rp 16.295–Rp 16.320 per USD, terapresiasi 1,75 % dalam sepekan.
Selain itu, pasar saham juga menunjukkan penguatan dengan IHSG naik 0,27 % ke level 6.636 dan mencatatkan kenaikan mingguan sebesar 5,8 %. Ini mengindikasikan investor mulai optimistis terhadap prospek ekonomi nasional,” tutur Josua. Sebelumnya, nilai tukar rupiah pada perdagangan 28 Februari 2025 lalu ditutup di level Rp 16.575 per USD atau terdepresiasi 2,58 % dibanding penutupan akhir tahun 2024. Hal serupa juga dialami oleh IHSG yang menyentuh level 6.300, anjlok 5 % dalam sepekan, bahkan terendah sejak September 2021. (Yoga)
IHSG Berpotensi Menguat
Indeks hargasaham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) berpotensi menguat dan melanjutkan kenaikan menuju 6.700 setelah pekan lalu menguat signifikan hingga 5,77%. Meski pergerakannya masih sangat dipengaruhi ketegangan perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, laju IHSG juga akan ditopang sentimen positif dari dalam negeri. Karena itu, semua pihak diminta menahan diri mengeluarkan pernyataan yang bisa menambah beban pasar. Pelaku pasar menilai, rencana Polri mengawasi pasar saham sebaiknya tidak dilakukan. Sebab, hal itu hanya akan menimbulkan guncangan hebat di pasar modal. Apalagi, net sell asing masih kencang, mencapai Rp 791 miliar pada Jumat pekan lalu. Artinya, kepercayaan asing belum sepenuhnya pulih.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), modal asing senilai Rp 8,99 triliun masuk ke pasar keuangan domestik pada periode 3-6 Maret 2025. Mayoritas modal asing masuk ke surat berharga negara (SBN), mencapai Rp 9,53 triliun, sedangkan disaham Rp 340 miliar. Secara kumulatif, 1 Januari sampai 6 Maret 2025, asing net sell Rp 20,12 triliun di pasar saham dan net buy Rp 19,01 triliun di pasar SBN serta Rp 6,11 triliun di SRBI. “IHSG mencatatkan penguatansignifikan di pekan lalu ke level6.636, dan memberikan harapan bagi pelaku pasar bahwa tren bearish yang menghantui sejak pertengahanSeptember 2024 mulai mereda. Secara teknikal, indeks berhasil breakout dari MA20 di level 6.628, yang menjadi indikasi positif bahwa IHSG berpotensi menguji kembali level psikologis 6.700 dalam waktu dekat," kata founder Stocknow.id Hendra Wardana, Minggu (9/3/2025). (Yetede)
Sejumlah Emiten Ramai-ramai ”Buyback” Saham
Sejumlah perusahaan terdaftar atau emiten aktif terpantau mengumumkan aksi buyback saham di triwulan awal 2025 ini. Salah satunya, produsen produk protein hewani, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), yang pada Rabu (5/3) mengumumkan akan meminta kesepakatan investor untuk buyback saham pada rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) 10 April 2025. Mengutip keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah mandat buyback yang akan dimintakan persetujuan dari pemegang saham adalah maksimum 2 % dari seluruh saham publik dengan maksimum dana sebesar Rp 470 miliar. Perseroan melakukan buyback untuk meningkatkan return on equity (ROE).
ROE adalah penghitungan pembagian laba bersih setelah pajak dengan ekuitas pemegang saham. Semakin tinggi nilai ROE berarti perusahaan efisien dalam menghasilkan profit. Saat ini, ROE Japfa positif di angka 19,51 %. ”Rencana buyback dinilai akan memberi fleksibilitas lebih besar bagi perseroan dalam mengelola modal dan memaksimalkan pengembalian kepada pemegang saham,” kata manajemen dalam keterangannya. Produsen cat dekoratif, PT Avia Avian Tbk (AVIA), juga mengumumkan akan melakukan aksi buyback saham pada 28 Februari 2025. Dengan dana kas internal senilai Rp 1 triliun, perseroan berencana membeli 1,42 miliar lembar saham yang beredar di publik atau 2,3 % dari total 61 miliar saham yang disetor perusahaan.
Adapun waktu pembelian direncanakan dilakukan sejak RUPSLB yang direncanakan pada 10 April 2025. Manajemen AVIA mengungkapkan, aksi tersebut dilakukan dalam rangka menjaga kewajaran dan stabilitas harga saham, yang dinilai tidak mencerminkan kondisi dan fundamental perseroan. Sejak awal tahun 2025, harga saham AVIA hingga perdagangan sesi pertama, Kamis (6/3), telah terkoreksi 4 % dari Rp 412 menjadi Rp 396 per saham. Sementara, dalam laporan keuangannya, perusahaan milik konglomerat Hermanto Tanoko ini mampu mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 1,35 % menjadi Rp 1,66 triliun sepanjang 2024. Dengan keuntungan tersebut, laba per saham AVIA senilai Rp 27,16 per saham. (Yoga)
Konglomerat Bersepakat, Bursa akan Bangkit Kembali, dan Badai pasti Berlalu
Sejumlah konglomerat pemilik perusahaan terbuka di pasar modal menyampaikan bahwa sejumlah emiten memiliki fundamental yang kuat di tengah tekanan global. Mereka menilai tren penurunan Indeks Harga Saham Gabungan justru menjadi momentum positif untuk meningkatkan investasi saham dalam jangka panjang. Para pemilik perusahaan besar di pasar modal menyampaikan pandangan tersebut kepada media seusai diundang dalam diskusi bersama OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Senin (3/3). Diskusi itu menyoroti perkembangan pasar saham yang beberapa bulan terakhir ramai ditinggal investor asing.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga akhir perdagangan bursa hari itu terkoreksi 7,9 % ke level 6.519 sejak awal 2025. Pengusaha seperti Garibaldi Thohir, mengaku masih percaya diri dengan pasar dalam negeri kendati mayoritas harga saham di bursa tengah anjlok seperti masa pandemi Covid-19. Penurunan harga saham, menurut dia, lebih dipicu sentimen terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump, yang terpilih kembali pada akhir 2024. Dalam kondisi tersebut, ia menyarankan investor untuk membeli saham berkinerja baik.
”Secara fundamental, banyak perusahaan di dalam negeri yang fundamentalnya bagus, value-nya murah, it’s time to buy,” ujar Presdir PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) tersebut, kepada media. Konglomerat dari Grup Sinar Mas, Franky Oesman Widjaja, juga mengaku percaya diri dengan fundamental perusahaan terbuka di Indonesia. Kendati demikian, masih ada peluang besar bagi Indonesia untuk memperbaiki kinerja perusahaan hingga memperdalam pasar di bursa. Pebisnis perusahaan Grup Barito, Agus Salim Pangestu, mengakui fundamental perusahaan yang baik membantu kinerja keuangan perusahaan di bawah benderanya tetap tumbuh positif. (Yoga)
Pilihan Editor
-
Evaluasi Bantuan Langsung Tunai BBM
11 Oct 2022 -
Alarm Inflasi Mengancam Sektor Retail
11 Oct 2022 -
Cuaca Ekstrem Masih Berlanjut Sepekan Lagi
10 Oct 2022