;
Tags

Pasar Modal

( 326 )

Bursa Global Rontok akibat Perang Dagang

KT3 05 Mar 2025 Kompas

Bursa saham AS dan sejumlah negara bereaksi negatif pada kepastian perang dagang. Dalam pernyataan, Senin (3/3) malam waktu Washington DC atau Selasa (4/3) dini hari WIB, Presiden AS Donald Trump memastikan tarif impor mulai berlaku Selasa. AS memberlakukan tarif impor 25 % untuk Kanada dan Meksiko. China juga terkena tambahan bea masuk dari 10 % menjadi total 20 %. Kanada dan Meksiko merupakan mitra dagang utama yang terikat perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara dengan AS, NAFTA. AS terutama menjadi pasar, Kanada-Meksiko menjadi pemasok. Dengan pemberlakuan tarif impor, praktis kesepakatan itu mati sehingga rantai pasok bisa terganggu.

Saling mengenakan tarif impor dikenal sebagai perang dagang. Perang dagang membuat harga berbagai barang naik sehingga konsumsi dikhawatirkan menurun. Penurunan konsumsi bisa membuat penjualan para produsen dan distributor terpangkas. Di bursa, koreksi pendapatan itulah yang membuat harapan pada nilai dividen berkurang. Akibatnya, harga saham terkoreksi. Sejak pengumuman Trump, negara-negara sasaran segera membalas. Kanada segera memberlakukan tarif 25 % untuk komoditas senilai 20,6 miliar USD. Jika Washington tak kunjung menunjukkan itikad baik, tarif setara akan dikenakan pada komoditas senilai 86,6 miliar USD.

China bakal menerapkan tarif 15 % untuk aneka impor produk pertanian dan peternakan AS. Mulai Senin pekan depan, tarif diberlakukan untuk kacang kedelai serta daging, mencakup babi, sapi, dan ayam. Pada 2024, China mengimpor total 24,7 miliar USD produk pertanian dan peternakan dari AS. Beijing juga melarang kerja sama dengan 10 perusahaan AS. Ada juga pembatasan ekspor ke 15 perusahaan AS, karena dinilai membahayakan kepentingan nasional China. Selepas pengumuman Trump, tiga indeks utama bursa New York langsung memerah. Nasdaq paling terpukul, anjlok 2,64 % karena indeksnya terpangkas 497 poin. S&P 500 serta Dow 30 lebih rendah koreksinya, masing-masing 1,76 % untuk S&P 500 dan 1,48 % untuk Dow 30.

Reaksi negatif bursa terlihat pula di Asia Pasifik. Indeks Nikkei, Jepang terkoreksi 1,37 % karena kehilangan 509,88 poin di pembukaan perdagangan, Selasa. Sementara S&P Australia terkoreksi 67,9 poin. Penurunan juga terpantau di bursa Mumbai, India. Indeks S&P Sensex Mumbai terkoreksi tipis 0,15 % karena kehilangan 115 poin. Di bursa Shanghai, China, Selasa, Indeks SSE Composite terkoreksi tipis 0,12 %. Pelaku pasar khawatir dengan prospek ke depan selepas pengumuman Trump. ”Apa yang seharusnya mereka lakukan adalah membangun pabrik mobil dan hal-hal lain di AS. Dengan begitu, mereka tidak akan dikenai tarif,” kata Trump di Gedung Putih. (Yoga)


Masih Kuatnya Tekanan ke Pasar Saham

KT1 05 Mar 2025 Investor Daily (H)

Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia(BEI) kembali terkoreksi pada perdagangan Selasa (4/3/2025), sebesar 2,14 % ke level 6.380,4. Tekanan ke pasarsaham masih kuat, sehingga indeks rawan tergelincir ke level 6.100-6.200. Pelemahan ini terjadi setelah IHSG sempat melonjak 3,97 % sehari sebelumnya, didorong kebijakan OJK yang merelaksasi aturan buyback saham tanpa perlu persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, mencatat, pasar saham domestik masih menghadapi tekanan akibat ketidakpastian global.

“IHSG melemah 11,8% month to date (mtd) dan 11,4 % year to date (ytd) pada 28 Februari 2025 ke level 6.270,6,” ujarnya dalam konferensi pers hasil rapat dewan komisioner OJK bulanan (RDKB) Februari 2025, Selasa (4/3/2025). Nilai kapitalisasi pasar turun 11,68 % mtd menjadi Rp 10.879,86 triliun. Tekanan jual asing masih tinggi, dengan net sell Rp18,19 triliun mtd dan Rp 21,9 triliun ytd. Dirut BEI, Iman Rachman menambahkan, Indonesia menempati peringkat ke dua dalam aksi jual asing di kawasan Asean, setelah Thailand dengan net sell Rp 47,8 triliun. Meningkatnya ketidakpastian akibat perang dagang antara AS dan mitra dagangnya menjadi faktor utama yang mendorong aksi jual investor asing. “Ketidakpastian global terkait kebijakan suku bunga The Fed yang cenderung ketat berdampak pada pasar negara berkembang. Ini mendorong peningkatan permintaan terhadap aset safe haven," kata Iman. (Yetede)

Gejolak Pasar yang harus dipahami

KT3 04 Mar 2025 Kompas (H)

Pada Jumat (28/2) pasar keuangan kita mengalami gejolak serius. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI) terperosok cukup dalam hingga ke level 6.300, terendah sejak pandemi Covid-19 pada September 2021. Pernah bertengger di level tertinggi 7.500 pada Agustus 2024, kini terkoreksi 21 %. Sejak awal tahun, investor asing melakukan penjualan saham (capital outflow) senilai Rp 19 triliun. Itulah mengapa nilai tukar rupiah juga mengalami tekanan terberat sejak 5 tahun terakhir mencapai Rp 16.600 per USD. Meski berada pada level setara dengan tahun 1998, situasi fundamentalnya berbeda. Pada waktu itu, nilai tukar melemah drastis dari sekitar Rp 2.500 per USD menjadi Rp 17.000 per USD. Dari sisi fundamental, waktu itu pertumbuhan minus 13 % dan inflasi mencapai 80 %.

Sekarang, pertumbuhan masih baik, sekitar 5 % dan inflasi rendah, sekitar 2 %. Meski demikian, gejolak pasar belakangan ini patut diwaspadai sebagai alarm agar tak berlanjut menjadi krisis berkepanjangan. Gejolak pasar keuangan tidak disebabkan faktor tunggal baik domestik maupun global. Secara umum, sejak Donald Trump diumumkan sebagai pemenang dalam pemilihan presiden AS untuk kedua kalinya pada November 2024 lalu, indeks USD terhadap semua mata uang dunia (DYX) naik. Seminggu terakhir ini, DYX kembali naik menjadi 107,58 pada 1 Maret 2025. Gejolak global dipicu keinginan Trump mempercepat penerapan kebijakan tarif ke Kanada dan Meksiko, selain penambahan besaran tarif perdagangan terhadap China.

Kenaikan tarif memicu ketidakpastian global yang berujung pada kenaikan harga (inflasi). Jika inflasi tinggi, suku bunga tidak bisa diturunkan. Akibatnya, investor global lebih senang memegang aset berbasis USD. Itulah mengapa mata uang hampir semua negara utama di dunia melemah seiring meningkatnya migrasi modal ke dalam negeri AS. Reaksi negatif investor global dan gejolak pasar perlu dilihat sebagai sinyal peringatan dini. Investor melihat acapkali pemerintah mencanangkan kebijakan dengan aksi persis sebaliknya, mulai dari pembentukan kabinet, realokasi anggaran, hingga peluncuran Danantara. Tujuannya mulia, tetapi dilakukan dengan menabrak prinsip tata kelola. Persepsi investor tetap perlu diperhatikan agar program kesejahteraan tidak jatuh menjadi populisme jangka pendek. (Yoga)


Regulator-Emiten Mencari Cara Meredam Volatilitas

KT3 04 Mar 2025 Kompas (H)

Regulator pasar modal di Tanah Air berdiskusi dengan para pemilik perusahaan terbuka dan pelaku pasar terkait volatilitas Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG dalam beberapa bulan terakhir. Evaluasi kebijakan akan diambil, salah satunya, untuk mengontrol likuiditas pasar saham yang paling banyak ditinggal investor asing. OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) mengadakan acara dialog di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, pada Senin (3/3) siang hingga jelang waktu berbuka puasa. Sejumlah pelaku pasar, mulai dari pemilik dan manajemen emiten, anggota bursa, hingga pimpinan media, diundang dalam diskusi tersebut.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi menjelaskan, dari diskusi tersebut, mereka menangkap kekhawatiran para pemangku kepentingan di pasar modal, terutama terkait tekanan pada IHSG belakangan ini. ”Oleh karena itu, OJK akan mengambil  kebijakan awal untuk, pertama, menunda implementasi kegiatan short selling. Selain hal tersebut, juga terdapat opsi kebijakan lain jika diperlukan, yaitu mengkaji buyback saham tanpa RUPS (rapat umum pemegang saham) dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi nantinya,” ujar Inarno dalam konferensi pers seusai diskusi. Implementasi short selling dengan skema intraday sebelumnya direncanakan berlaku mulai Maret atau April 2025.

Perdagangan ini dilakukan ketika pedagang menjual saham saat harganya tinggi dan membeli kembali saat harganya turun pada akhir perdagangan di hari yang sama. Produk ini ditunda karena berpotensi menambah suplai di tengah permintaan yang rendah. Sebaliknya, kebijakanbuyback atau pembelian kembali saham investor oleh perusahaan diharapkan mampu menaikkan harga saham sehingga permintaan melonjak. Kebijakan ini dipermudah dengan mengizinkan buyback tanpa meminta kesepakatan investor lewat RUPS. Dua evaluasi kebijakan itu, ungkap Inarno, terfokus pada tiga hal, yakni menjaga stabilitas pasar, peningkatan likuiditas, dan perlindungan investor ritel ataupun institusional. (Yoga)


Buyback Tanpa RUPS Dikaji Terlebih Dahulu

KT1 04 Mar 2025 Investor Daily (H)
OJK dan BEI menegaskan komitmen mereka untuk menjaga stabilitas dan perkuat fundamental aset-aset yang ditransaksikan di pasar. Untuk mewujudkan komitmen itu, regulator merangkul segenap taipan Indonesia guna berdiskusi dalam meja yang sama, demi penyelamatan IHSG dari koreksi beruntun.   Kepala Eksekutif OJK Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Inarno Djajadi mengatakan pihaknya akan menerapkan beberaoa kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas harga dengan memberikan keputusan baik penyesuaian operasional perdagangan guna mendukung efisiensi pasar. Kebijakan tersebut, lanjut dia, diantaranya adalah menunda  pelaksanaan atau implementasi short sel serta, mengkaji kebijakan relaksasi buyback saham tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS). "Tak hanya di Indonesia, penurunan indeks juga terjadi di berbagai bursa di pasar global. Hal itu membuat regulaor bursa terkait mengeluarkan kebijakan untuk menstabilkan kondisi pasar," jelas dia. (Yetede)

Buyback Tanpa RUPS Dikaji Terlebih Dahulu

KT1 04 Mar 2025 Investor Daily (H)
OJK dan BEI menegaskan komitmen mereka untuk menjaga stabilitas dan perkuat fundamental aset-aset yang ditransaksikan di pasar. Untuk mewujudkan komitmen itu, regulator merangkul segenap taipan Indonesia guna berdiskusi dalam meja yang sama, demi penyelamatan IHSG dari koreksi beruntun.   Kepala Eksekutif OJK Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Inarno Djajadi mengatakan pihaknya akan menerapkan beberaoa kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas harga dengan memberikan keputusan baik penyesuaian operasional perdagangan guna mendukung efisiensi pasar. Kebijakan tersebut, lanjut dia, diantaranya adalah menunda  pelaksanaan atau implementasi short sel serta, mengkaji kebijakan relaksasi buyback saham tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS). "Tak hanya di Indonesia, penurunan indeks juga terjadi di berbagai bursa di pasar global. Hal itu membuat regulaor bursa terkait mengeluarkan kebijakan untuk menstabilkan kondisi pasar," jelas dia. (Yetede)

Relaksasi Aturan Pasar Saham, Mampukah Meningkatkan Daya Saing?

HR1 04 Mar 2025 Kontan (H)
Setelah IHSG anjlok akibat derasnya capital outflow, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah stabilisasi dengan menunda penerapan short selling dan mengkaji kebijakan buyback saham tanpa RUPS. Deputi Komisioner Pengawasan OJK, Aditya Jayaantara, menegaskan bahwa keputusan ini bertujuan menjaga stabilitas harga saham dan memberi ruang bagi investor.

Langkah ini disambut baik oleh pelaku pasar, termasuk Presiden Direktur PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), Garibaldi Thohir, yang menyatakan kesiapan perusahaannya untuk menambah anggaran buyback saham jika kebijakan ini diberlakukan.

CEO Sucor Sekuritas, Bernadus Wijaya, menilai buyback saham tanpa RUPS bisa menjadi katalis positif karena meningkatkan kepercayaan pasar, meskipun ia mengingatkan bahwa pemulihan pasar tidak cukup hanya dengan kebijakan ini. Fundamental ekonomi Indonesia juga harus diperkuat.

Sementara itu, Pengamat Pasar Modal, Fauzan Luthsa, mengkritisi bahwa pasar modal Indonesia terlalu bergantung pada emiten-emiten besar. Ia menilai, diversifikasi skala emiten perlu dilakukan agar tidak terlalu tergantung pada investor asing, yang dapat memperburuk volatilitas pasar saat terjadi capital outflow.

Meski OJK telah mengambil langkah untuk menahan kejatuhan IHSG, investor tetap harus mencermati faktor-faktor ekonomi yang lebih luas untuk memastikan stabilitas jangka panjang di pasar modal.

IHSG Jatuh ke Titik Terendah

KT1 01 Mar 2025 Investor Daily

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 3,31% di pengujung bulan Februari ke level 6.270, sekaligus menjadi level terendah d alam tiga tahun terakhir. IHSG bahkan terkoreksi tajam 11,43% sejak awal tahun 2025 hingga Jumat (28/2/2025). Investor asing telah mencatatkan aksi jual (net sell) hampir Rp 19 triliun di pasar saham sepanjang tahun ini. Phintraco Sekuritas mengungkapkan, akumulasi jual investor asing sebelumnya sudah pernah terjadi beberapa kali dalam 10 tahun terakhir. Nilai akumulasi net sell investor asing paling dekat adalah ditahun 2015 dengan posisi pelemahan IHSG sebesar 12,13%. “Dengan asumsi kembali terjadi net sell investor asing pada perdagangan Jumat (28/2/2025), nilai akumulasi jual asing sepanjang 1 Januari-28 Februari 2025 diperkirakan mencapai level yang sama dengan 2015.

Pelemahan IHSG sudah mencapai 11%, hampir sama dengan besarnya pelemahan di tahun 2015 tersebut," ungkap Phintraco Sekuritas dalam risetnya, Jumat sore (28/2/2025). Pada penutupan perdagangan Jumat (28/2/2025), IHSG terkoreksi 214,9 poin ke posisi 6.270, dengan volume transaksi 220 juta lot, frekuensi transaksi 1,3 juta kali, dan total nilai transaksi bursa sebesar Rp 20,6 triliun. Aksi jual bersih asing mencapai Rp 2,91 triliun, dengan lima saham yang paling banyak dilepas asing adalah BBRI Rp 879,3 miliar, MDKA Rp522,4 miliar, BBCA Rp 382,9 miliar, INKP Rp 261,6 miliar, dan BBNI Rp 233,6 miliar.

Dirut BEI, Iman Rachman menyoroti berbagai faktor global dan domestik yang berkontribusi terhadap tekanan pasar. Kebijakan ekonomi global, terutama terkait kebijakan tarif perdagangan dan suku bunga AS, menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi aliran dana asing ke pasar saham Indonesia. “Trump 2.0 tidak mudah. Sekitar 70% dana global tetap mengalir ke aset berkualitas tinggi di AS. Selain itu, ancaman tarif dagang terus muncul, seperti yang sebelumnya terjadi pada Meksiko dan Kanada, serta Uni Emirat Arab," jelas dia. Selain faktor tarif, kebijakan pajak pertambahan nilai (VAT) yang diharapkan menurun ternyata tidak sesuai ekspektasi. (Yetede)


Ekonomi Terpuruk, Bursa Menurun

HR1 01 Mar 2025 Kontan (H)
Tahun 2025 menjadi tantangan berat bagi ekonomi Indonesia, ditandai dengan pelemahan IHSG dan rupiah yang mencapai level terburuk sejak pandemi Covid-19 dan krisis moneter 1998. Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata, menilai bahwa ketidakpastian suku bunga The Fed dan perang dagang global mendorong investor asing keluar dari Indonesia.

Di pasar saham, Budi Frensidy, Pengamat Pasar Modal UI, menyoroti tidak adanya market maker yang mampu menahan arus jual asing, sementara Parto Kawito, Direktur Infovesta Utama, menyebut turunnya return on equity (ROE) dan kontribusi manufaktur sebagai penyebab lemahnya kepercayaan investor.

Hans Kwee, Co-Founder PasaRDana, mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, seperti penghapusan subsidi gas 3 kg yang justru merugikan ekonomi rakyat kecil. Iman Rachman, Direktur Utama BEI, menegaskan bahwa pertemuan dengan pelaku pasar diperlukan, tetapi kebijakan ekonomi yang tidak stabil tetap menjadi ancaman utama bagi investor.

Secercah Harapan bagi IHSG di Tengah Tekanan Global

HR1 28 Feb 2025 Bisnis Indonesia (H)

Pasar modal Indonesia sedang menghadapi penurunan, terdapat optimisme yang ditunjukkan melalui aksi rights issue oleh sejumlah emiten. Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,83% pada akhir Februari 2025 dan banyak modal asing yang keluar, emiten-emiten seperti PT MNC Energy Investments dan PT Bukit Uluwatu Villa Tbk. masih berencana untuk melakukan rights issue. Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, mendukung langkah ini sebagai sarana pendanaan perusahaan. Namun, seperti yang disampaikan oleh Sukarno Alatas dari Kiwoom Sekuritas, tantangan utama adalah ketidakstabilan pasar dan ketidakpastian makroekonomi yang dapat mempengaruhi partisipasi investor. Felix Darmawan dari Panin Sekuritas juga menyoroti bahwa meski ada tantangan besar, rights issue tetap menjadi opsi menarik bagi emiten dengan fundamental kuat, terutama dalam kondisi pasar yang tidak stabil. Ekky Topan dari Infovesta menambahkan bahwa keberhasilan rights issue sangat bergantung pada peningkatan kepercayaan investor dan kondisi pasar yang lebih positif.