Investasi lainnya
( 1325 )Swasta Masuk Proyek Data Center, Apa Risikonya?
Investasi Saham dan Obligasi Lebih Menarik akibat Penurunan Bunga Acuan
Kebijakan BI menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,5 % pekan ini, akan membuat investasi saham dan obligasi lebih atraktif. Apalagi jika bank sentral melanjutkan relaksasi kebijakan moneternya. BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bsp) menjadi 5,5 % pada Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (21/5), yang menjadi pemulihan sejak tren kenaikan suku bunga yang secara kumulatif mencapai 250 bps sejak pertengahan 2022 hingga puncaknya di 6,25 % per April 2024. Retail Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Indri Liftiany Travelin Yunus, Jumat (23/5) berpendapat, BI dalam kebijakan moneter berikutnya akan terus mempertimbangkan keputusan The Federal Reserve. Bank sentral AS itu diproyeksikan masih memiliki ruang untuk memangkas tingkat suku bunga acuan pada sisa waktu di 2025.
”BI masih membuka peluang besar untuk melakukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun ini,” ujarnya. Arah kebijakan ini, langsung berdampak pada instrumen investasi, seperti saham dan obligasi. Pasar saham akan terimbas sentimen positif dari penurunan suku bunga yang akan membuat perputaran ekonomi dan membuat daya beli masyarakat meningkat. ”Dari sisi perusahaan atau emiten sendiri, penurunan suku bunga akan berdampak pada bunga kredit yang lebih rendah sehingga beban usaha perusahaan berkurang, sehingga berdampak positif bagi keuntungan bersih perusahaan,” tuturnya. Kinerja perusahaan yang membaik akan menarik minat pelaku pasar berinvestasi di pasar saham dan membuat harga saham meningkat. Perbaikan kinerja juga dapat terjadi manakala beban kredit usaha menjadi rendah dengan penurunan suku bunga acuan. (Yoga)
Harapan agar Pajak dan Bea Cukai Pro Investasi
Kalangan pengusaha menyambut baik pelantikan Dirjen Pajak serta Dirjen Bea dan Cukai yang baru. Harapannya, keduanya dapat mendorong kebijakan yang proinvestasi dan responsif terhadap dinamika dunia industri. Hal yang dinilai perlu dibenahi, antara lain konsistensi regulasi perpajakan di setiap tingkatan, prosedur pemberian insentif pajak, penyederhanaan perizinan impor, serta berbagai hambatan administratif lainnya. Dirjen Pajak serta Dirjen Bea dan Cukai yang baru adalah Bimo Wijayanto dan Djaka BudiUtama. Keduanya dilantik Menkeu, Sri Mulyani pada Jumat (23/5). Menkeu juga melantik 20 pejabat eselon satu lainnya pada kesempatan yang sama. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, dunia usia memandang pelantikan keduanya sebagai momentum keberlanjutan agenda reformasi kelembagaan di sektor perpajakan dan kepabeanan, yang sangat krusial bagi terciptanya iklim investasi yang sehat dan daya saing nasional berkelanjutan.
”Sektor industri adalah penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, beberapa periode terakhir, tantangan global dan domestik termasuk perlambatan konsumsi serta regulasi yang belum sepenuhnya efisien, turut menekan kontribusinya terhadap PDB,” kata Shinta, Jumat (23/5). Apindo berharap kepemimpinan baru di Ditjen Pajak dan Bea Cukai mampu mempererat kolaborasi dengan dunia usaha dalam merancang kebijakan yang pro investasi, adaptif terhadap dinamika industri dan memperluas basis penerimaan negara tanpa memberatkan pelaku usaha patuh. Melalui Roadmap Perekonomian 2024-2029, Apindo mendorong penyempurnaan implementasi sistem administrasi perpajakan (core tax) dan penyederhanaan proses agar mudah diakses seluruh wajib pajak. Ia berharap prosedur insentif perpajakan disederhanakan agar menjadi pendorong produktivitas dan investasi, untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkontribusi optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. (Yoga)
Danantara Pertahankan Skema Opsi IPO
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara alias Danantara akan tetap mempertahankan skema penawaran umum perdana saham (initial public offering.IPO) sebagai salah satu opsi untuk memperkuat struktur permodalan perusahaan-perusahaan BUMN. Danantara saat ini membawahi sejumlah 844 perusahaan BUMN yang meliputi perusahaan induk, anak usaha, cucu sampai cicit usaha. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 37 BUMN atau merefleksikan 4,3% perusahaan pelat merah yang sahamnya sudah tercatat di BEI. Atau dengan kata lain, hanya sekitar 1 dari 23 BUMN kelolaan Danantara yang sudah berstatus emiten. Postur emiten BUMN tersebut akan trus digenjot Danantara sebagai upaya untuk memperkuat struktur permodalan dam membuat perusahaan-perusahaan nasional berdaya saing di tingkat global.
Karena itu, transformasi BUMN baik melalui restrukturisasi keuangan, konsolidasi, klasterisasi, maupun peningkatan skala bisnis merupakan aksi korporasi yang akan Danantara tempuh sebagai intrusmen strategis dalam mewujudkan asta cita dan tujuan nasional. "Jadi, dalam proses transformasi ini, Pak Donny dan tim ( di Holding Operasional) akan melakukan analisa pasar maupun analisa kekuatan dan kelemahan dari masing-masing BUMN untuk dilihat kemungkinan efisiensi dan konsolidasinya seperti apa. Jadi, objektifnya, kami kedepan adalah memiliki BUMN yang lebih besar," jelas Managing Director Holding Investment Danantara Djamal Attamimi. (Yetede)
Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Harus Mempertimbangkan Banyak Aspek
Pembiayaan Kapal Masih Jadi Tantangan Sektor Maritim yang Kompetitif
Investasi Emas Diuji Momentum
Meski Masih Aman, Defisit MPI Harus Tetap Diwaspadai
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit sebesar US$ 800 juta pada kuartal 1-2025 akibat pengaruh perlambatan perekonomian global. Meski masih dalam kisaran aman, pemerintah dan otoritas moneter tetap perlu menjaga kondisi NPI, karena menjadi salah satu penilaian bagi investor dan pelaku ekonomi terhadap perekonomian suatu negara. Berkaitan itu, BI memperkuat respons bauran kebijakan yang didukung sinergi kebijakan yang erat dengan pemerintah dan otoritas terkait, guna memperkuat ketahanan sektor eksternal.
Neraca pembayaran Indonesia sepanjang tahun 2025 diperkirakan
tetap sehat ditopang oleh surplus transaksi modal dan finansial yang
berkelanjutan, dan deficit transaksi berjalan yang terjaga dalam kisaran
defisit 0,5% sampai dengan 1,3% dari PDB. “Surplus transaksi modal dan
finansial didukung oleh aliran masuk modal asing, sejalan dengan persepsi
positif investor terhadap prospek perekonomian domestik yang tetap baik dan
imbal hasil investasi yang menarik,” jelas Kepala Departemen Komunikasi BI
Ramdan Denny Prakoso. Ramdan menuturkan, transaksi berjalan mengalami defisit
US$ 200 juta atau 0,1% dari PDB pada kuartal 1-2025. Defisit tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan posisi kuartal IV-2025 yang sebesar US$ 1,1 miliar
atau 0,3% dari PDB. (Yetede)
Ambisi Industri Nikel
Indonesia saat ini menghadapi dua pilihan kritis, antara
mengejar ambisi industrialisasi-khususnya sebagai produsen dan pusat manufaktur
baterai kendaraan listrik (lectric vehicle atau EV) di pasar dunia. Sebagai
produsen nikel terbesar dengan cadangan mencapai 55 juta metrik ton, posisi
Indonesia memang sangat strategis dalam rantai pasok baterai EV global.
Pemerintah menargetkan untuk menjadi salah satu dari tiga produsen baterai EV
terbesar di dunia pada tahun 2027, dengan kapasitas produksi mencapai 2030 guna
memenuhi hingga 9% dari permintaan global. Langkah strategis seperti larangan
ekspor bijih nikel sejak 2020 bertujuan untuk mendorong hilirisasi dan menarik
investasi asing guna mewujudkan ambisi ini. Oleh karena itu, pemerintah aktif
mengundang masuknya perusahaan-perusahaan besar seperti Hyundai-LG, CATL,
Faxconn, Ford, BASF, dan LG Solution. Kawasan industri seperti Indonesia Morowali
Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tenggara juga berkembang pesat sebagai pusat
pengolahan nikel. (Yetede)
Emiten Emas Terus Menggeliat
Emiten emas terus bergeliat memperkuat bisnis aset lindungi
nilai (safe haven) tersebut dengan menggenjot produksi dan melipatgandakan nilai tambah dari segmen emas
perhiasan. Daya tarik aset defensif itu dinilai masih akan cukup tinggi apalagi
di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal AS dan memanasnya eskalasi geopolitik
Israel dan Iran seperti sekarang. Di pasar spot, harga emas terakhir kali dilihat
mengalami depresiasi sebesar US$ 18,60 (0,56%) ke level US$ 3.296 per troy
ounce. Pelemahan tersebut menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah emas reli
berkali-kali dan sekarang mulai mengarah pada tren konsolidasi. Namun begitu,
potensi emas untuk bullish tetap terbuka
lebar paling tidak dalam jangka pendek bilaman misalnya pelemahan dolar
AS berlanjut dan tensi global tak kunjung mereda. Sementara dalam jangka
panjang, paradigma emas sebagai pilihan intrusmen investasi yang dipandang
stabil belum tergantikan. Trading economics memproyeksikan, harga emas akan
mampu kembali ke level US$ 3.390 per troy ounce dalam 12 bulan ke depan. Atau
dengan kata lain, mendekati harga historis emas yang sempat menyentuh level US$
3.340 per troy ounce pada April lalu. (Yetede)
Pilihan Editor
-
Emiten Baja Terpapar Pembangunan IKN
24 Jan 2023 -
Cuaca Ekstrem Masih Berlanjut Sepekan Lagi
10 Oct 2022









